RUU Perkoperasian pengganti UU No.25 Tahun 1992 masih bergulir. Direncanakan, Oktober ini draft akan mulai dibahas di Senayan. Rancangan Undang Undang (RUU) Perkoperasian pengganti UU No.25/1992 merupakan perubahan ketiga atas UU No.25 Tahun 1992. Disebut juga revisi ketiga, sebab revisi pertama sudah dilakukan oleh Omnibus Cipta Kerja. Adapun yang kedua adalah revisi melalui Omnibus P2SK. Revisi ketiga tengah dikebut dan ditargetkan UU Perkoperasian sudah terbit akhir 2023 mendatang.
Mengacu informasi yang dihimpun dari Kementerian Koperas dan UKM, pihaknya sejak Juli 2022, telah melakukan kegiatan serap aspirasi melalui berbagai forum dengan melibatkan tidak kurang dari 5.000 orang.
“Sesuai dengan jadwal yang telah kami tentukan, kita sudah melakukan Pembahasan Antar Kementerian (PAK) tidak kurang dari 10 kali pertemuan, yang ditandai dengan penyelesaian PAK, untuk diminta penyelarasan naskah akademik oleh BPHN Kementerian Hukum dan HAM, dan telah dinyatakan RUU koperasi selaras secara sistematika dan muatannya,” papar Deputi Perundang-Undangan Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi dalam satu kesempatan.
Dipaparkan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Asep Nana Mulyana, Indonesia perlu melakukan reformasi perkoperasian dengan pembaruan regulasi untuk menyesuaikan anatomi kelembagaan koperasi agar lebih adaptif, dengan perkembangan zaman untuk mendukung pengembangan koperasi kedepan.
Dalam konteks ini RUU Perkoperasian diharapkan bisa melindungi anggota yang terlibat dan juga masyarakat luas dalam kehidupan sehari – hari.
Asep mengemukakan, dengan adanya RUU Perkoperasian, ke depan diharapkan tercipta level playing field yang lebih luas bagi koperasi, bahkan koperasi tidak sekadar terbonsai, melainkan menjadi kekuatan perekonomian suatu negara. Asep mencontohkan beberapa negara di Eropa seperti Swiss, koperasi bisa mendirikan bank besar dan ini patut kita contoh di Indonesia untuk dikembangkan dan dapat dilakukan oleh koperasi.
Dalam revisi ketiga ini, ada setidaknya tujuh hal yang menjadi perhatian pemerintah dalam draft perubahan UU Perkoperasian, yang Oktober nanti mulai dibahas parlemen:
Pertama, terkait peneguhan identitas koperasi dengan mengadaptasi jatidiri koperasi dari International Cooperatives Alliance (1995) yang dipadukan dengan karakter dan semangat keIndonesiaan, antara lain azas kekeluargaan dan gotong royong.
Kedua, modernisasi kelembagaan koperasi dengan melakukan pembaruan pada ketentuan keanggotaan, perangkat organisasi, modal serta usaha.
Ketiga, peningkatan standar tata kelola yang baik (good coopetavies governance) untuk mendorong koperasi-koperasi di Indonesia memiliki standar tersebut. Sehingga watak koperasi sebagai perusahaan yang dimiliki bersama dapat benar-benar dikendalikan secara demokratis oleh anggotanya.
Keempat, perluasan lapangan usaha koperasi, dengan menghapus penjenisan koperasi (sebagaimana putrusan MK tahun 2013). Sehingga ke depan koperasi dapat menjalankan usaha di sektor apapun sebagaimana tersedia dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), yang sedikitnya ada 1790 pilihan. (Ada tujuh dampak positif : 1. Badan hukum koperasi diperlakukan setara dengan badan hukum lainnya, misal Perseroan Terbatas (PT). 2.Mendorong koperasi mengusahakan peluang-peluang baru, sehingga berbagai kebutuhan anggota dapat diselenggarakan dengan baik. 3. Meningkatnya volume usaha koperasi secara nasional. 4. Maasyarakat memiliki alternatif aneka badan hukum dalam berusaha, dalam hal ini koperasi. 5. Koperasi dapat menjadi agregator atau konsolidator bisnis di lapangan usaha manapun. 6. Koperasi akan tumbuh secara alamiah dengan spesialisasi-spesialisasi sesuai lapangan usaha yang diselenggarakan, sehingga meningkatkan keunggulan kompetitif koperasi.
Kelima, pengarusutamaan koperasi sektor riil, affirmative action ini dilakukan agar koperasi sektor riil dapat menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat. Berbagai dukungan, insentif dan fasilitasi telah diatur dalam RUU. Kedepan koperasi sektor riil harus menjadi arus utama kelembagaan ekonomi rakyat untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan.
Keenam, peningkatan perlindungan kepada anggota dan/atau masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mengusulkan pendirian dua pilar lembaga. Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi dan Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi.
Ketujuh, peningkatan Kapasitas hukum, dengan mengatur ketentuan sanksi administratif dan pidana. Tujuannya, untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi anggota, koperasi, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan badan hukum koperasi. Sehingga dapat menekan kasus-kasus praktik ternak uang atau rentenir berbaju koperasi. (Prio).
Sumber : https://wartakoperasi.net/ruu-perkoperasian-revisi-ketiga-koperasi-boleh-bisnis-apa-saja-detail-450308