PMK dan Kegagalan Mengkoperasikan Peternakan Kita

PMK dan Kegagalan Mengkoperasikan Peternakan Kita


Kurang tertanganinya ledakan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak ruminansia di Indonesia, menunjukkan salah satu cermin gagal tatakelola peternakan kita. Kasus PMK, ternyata menyuburkan impor termak dam vaksin. Tak perlu malu belajar dari Kenya.  Kenya, negara Afrika yang dikenal sebagai kawasan kering, koperasinya mampu menguasai 76% pangsa pasar susu. Itu belum termasuk 70% pangsa pasar kopi, 95% pangsa pasar katun hingga 90% pasar bunga pyrethrum – bunga yang dipakai untuk bahan insektisida. Koperasi pertanian Kenya menjadi tulang punggung persoalan kemiskinan di negara itu. 


Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang dirilis bersamaaan dengan perayaan Hari Pangan Dunia (World Food Day) beberapa waktu silam, melaporkan, “Agricultural Cooperatives: Key to Feeding The World”. Terdapat 925 juta orang yang menderita kelaparan. Sebanyak 70% dari mereka tinggal di wilayah pedesaan dan menggantungkan ekonominya dari industri pertanian. 

Angka di atas niscaya akan semakin kritis sejak beberapa bulan lalu, tepatnya akibat kecamuk perang antara Rusia dan Ukraina. Yang menyisakan cerita jutaan ton gandum yang musnah terbakar dan jutaan ton lainnya tertahan tak bisa terdistribusikan untuk menambal kebutuhan pangan dunia. Ancaman kekurangan pangan membeliak di depan mata.

Koperasi pertanian (agricultural cooperative) menurut FAO, adalah salah satu kunci mengatasi krisis pangan dan mengentaskan kemiskinan, terutama di wilayah pedesaan. Koperasi terbukti berhasil menciptakan lapangan kerja, memberikan sandaran ekonomi bagi mayoritas penduduk dunia. Tidak hanya di industri pertanian, koperasi (cooperative) juga berkembang ke berbagai sektor pendukung lain termasuk di industri pangan, makanan, layanan kesehatan, pemasaran, asuransi dan simpan pinjam. Jumlah tenaga kerja yang terserap di koperasi mencapai 100 juta orang – termasuk pekerja koperasi dan mereka yang menyediakan jasa serta produk koperasi.

Pada lebih lima tahun  lalu saja Kenya mencatatkan 600 ribu lebih anggota aktifnya. Terbagi dalam dua sektor usaha besar, pertanian kopi dan industry susu. Dan ini kedahsyatan Kenya yang baru merdeka pada 1963 : koperasi pertanian setempat menguasai 70% pangsa pasar kopi, 76% pangsa pasar susu, 95% pangsa pasar katun dan 90% pasar bunga pyrethrum – bunga yang dipakai untuk bahan insektisida. Di Kenya, 924.000 petani memeroleh pendapatan dengan menjadi anggota koperasi. Sementara di Ethiopia jumlahnya mencapai 900.000 petani dan di Mesir angka ini melonjak menjadi 4 juta jiwa.

Koperasi di Kenya sukses mengembangkan bisnis yang berdaya guna dan mampu membantu menyelesaikan persoalan kemiskinan di negara itu. Kenapa? Salah satunya adalah karena mereka fokus pada sumber daya yang potensial, diantaranya sektor perkebunan kopi dan peternakan sapi untuk industri susu.

Menurut Wordwatch Institute, koperasi pertanian adalah bagian dari upaya dan gerakan menciptakan industri pangan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Praktik pertanian ramah lingkungan (agroecological practices) akan membantu memulihkan nutrisi dalam tanah, meningkatkan hasil panen, meningkatkan pendapatan petani serta melestarikan tanaman, hewan dan seluruh ekosistem yang terpengaruh oleh pertanian.

Mengutip data Christensen Fund, praktik pertanian skala industri – termasuk peternakan – akan meningkatkan pencemaran kimia seiring dengan meningkatnya penggunakan pupuk kimia dan pestisida. Praktik distribusi bahan pangan ke seluruh dunia juga menyumbang peningkatan penyakit kronis akibat polusi air dan udara.

Beralih ke praktik pertanian yang berkelanjutan – seperti wana tani (agroforestry), kompos (composting), pelestarian habitat alam liar dan pengembangan pasar serta pasokan pangan lokal – bisa membantu memerkuat ketahanan pangan, melestarikan keanekaragaman hayati serta meningkatkan hasil panen hingga 2-3 kali kali lipat dalam jangka panjang. Semua upaya ini harus menjadi satu kesatuan aksi mengatasi krisis pangan yang tidak hanya meningkatkan kesejahteraan namun juga melestarikan lingkungan.

Koperasi pertanian Kenya memang masih terus tumbuh, biar begitu sektor lain sejatinya cukup berkembang. Hanya saja, menimbang kultur ekonomi dan geografi Kenya, sektor pertanian masih menjadi fokus koperasi setempat.

Ketika dalam General Assembly ICA di Singapura sekian trahun silam diluncurkan proyek Global 300 list yang menyajikan 300 koperasi kelas dunia, dan Developing 300 Project yang menyajikan 300 koperasi sukses di negara sedang berkembang, sementara beberapa negara Asia (Malaysia, Muangthai, Srilangka, Vietnam, Filipina), beberapa negara Afrika (Uganda, Kenya, Tanzania dan Ethiopia), dan juga beberapa negara Amerika Latin seperti: Columbia, Costa Rica dan Paraguay menyumbangkan masing-masing 5 koperasinya, tak satupun koperasi dari Indonesia yang masuk daftar. Kini, koperasi Kenya kembali berdaya dengan memasukkan beberapa diantaranya dalam list koperasi berkelas global.

Kondisi dunia peternakan dan pertanian kita pada umumnya, memang seakan mendapati momentum kedaulatannya, Pasokan kebutuhan pangan kita masih melulu mengandalkan impor untuk menstabilkan pasokan. Beras, gula, garam, daging, bahkan buah-buahan, masih menderas impornya. Kasus nPMK hanya noktah kecil, betapa gangguan non teknis bisa memengaruhi kestabilan pangan suatu negara. Andai saja koperasi pertanian kita cukup tanggun dan solid, ketergantungan pada situasi ekternal tidaklah sedarurat seperti saat ini. Tidak mandiri di tengah kondisi serba dimanjakan oleh alam dan klimat terbaik di dunia.   (PRIONO)


Sumber : https://wartakoperasi.net/pmk-dan-kegagalan-mengkoperasikan-peternakan-kita-detail-443582