Draft Rancangan Undang Undang Perkoperasian dan penyempurnaannya ditargetkan pemerintah selesai Oktober mendatang. Hal itu dikemukakan Kementerian Koperasi dan UKM, Juni silam. Rancangan terdahulu (2019) yang ada di meja DPR pun, statusnya masih carry over alias dialihkan pembahasannya. Parlemen belum menganggapnya sebagai skala prioritas.
“Daripada (memiliki) Undang-Undang Perkoperasian yang buruk, lebih tanpa Undang-Undang”.
Pernyataan di atas pernah disitir pakar perkoperasian, almarhum Ibnu Sudjono, sekian dekade silam, merespons saling sengkarut dalam pembahasan rancangan undang-undang perkoperasian di awal tahun 2000an. Institusi yang diampu Ibnu Sudjono dkk, Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), saat itu adalah satu-satunya lembaga non pemerintah yang paling getol menyoal perlunya pembaruan UU Perkoperasian No.25 Tahun 1992 yang dinilai sudah ketinggalan zaman.
Pada Februari 2001, misalnya, sebuah workshop dihelat LSP2I untuk membahas rencana perubahan UU Perkoperasian. Sebulan kemudian disepakati tim pembahas yang melibatken sejumlah elemen. Dari pakar, pemerintah, hingga entitas gerakan koperasi. Ujungnya adalah UU Perkoperasian No.17/Tahun 2012, yang belakangan di judicial review sejumlah pegiat koperasi, dan akhirnya masuk kotak.
Saat ini, dalam pembaruan draft RUU Perkoperasian terbaru yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM, sejumlah persoalan dielaborasi. Diantaranya terkait pengawasan, anggota pendiri, hingga lembaga penjaminan simpanan koperasi. Apa boleh buat, regulasi perkoperasian kita masih ketinggalan. Menarik menyimak penelitian Chief Executive International Cooperative & Mutual Insurance Federation (ICMIF) Shaun Tarbuck. Bahwa mayoritas negara maju memiliki regulasi perkoperasian sementara lebih dari separuh negara berkembang tak memilikinya.
Lantas apa dampaknya? Penelitian ini rencananya akan dipaparkan Tarbuck di Global Conference di Anatalya, Turki, November nanti. Shaun Tarbuck mengawali paparannya dengan pertanyaan, “mengapa lebih dari setengah dari negara-negara berkembang tidak memiliki hukum koperasi?”. Perinciannya, tercatat 90% negara maju memiliki hukum koperasi. Bandingkan dengan negara-negara berkembang yang hanya 45% diantaranya memiliki hukum koperasi. Shaun Tarbuck, selaku pimpinan federasi koperasi asuransi internasional paham benar pentingnya regulasi itu.
Ketiadaan regulasi terkait asuransi koperasi menyebabkan ketimpangan akses publik terhadap asuransi. Tarbuck percaya, bahwa asuransi yang dikelola oleh koperasi merupakan cara terbaik mendekatkan publik pada akses asuransi. "Mengapa kita membiarkan negara-negara berkembang untuk tidak memiliki akses yang sama terhadap asuransi koperasi - yang kami percaya adalah yang terbaik - seperti yang kita lakukan di negara-negara maju? Tampaknya itu sangat tidak adil, " papar Tarbuck seperti dikutip dari wawancaranya dengan ICA.coop. Lebih tiga tahun silam, di Turki, Tarbuck mengekspose kerangka hukum koperasi, dampak dan aplikasinya di berbagai dunia internasional. Tarbuck lantas mencontohkan Filipina. Di Filipina, misalnya, asuransi publik CARD MBA menjamin sekitar 11 juta orang (8,25% dari populasi).
Sebagian besar dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Pada 2013, ketika negeri petinju beken Manny Pacquiao itu dihajar Topan Haiyan, mereka mengalami kerugian besar. Namun berkat regulasi yang dimiliki negara itu, 95% penduduk terdampak topan diberi ganti rugi cukup memadai dengan semua klaim hanya dalam waktu lima hari hingga sehari. Filipina mampu melakukan itu karena selama 20 tahun terakhir regulasi telah ada dan mampu mendorong pengembangan asuransi berbasis masyarakat.
Tapi harus diakui bahwa ada juga contoh regulasi yang cenderung menghambat. Diantaranya di China dan India. Meskipun demikian, intinya adalah, antara regulasi yang baik dengan pemerintah yang baik saling berkelindan. Pemerintahan yang kurang berbobot cenderung menghasilkan regulasi yang juga kurang konstruktif. Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya Shaun Tarbuck tak mengulas secara spesifik bagaimana regulasi tentang koperasi di Indonesia. Di level Undang Undang saja, Indonesia masih keteteran menetapkan regulasi ikhwal perkoperasian.
UU Perkoperasian No.17 tahun 2012 sudah dinyatakan tak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Kini, penggantinya juga belum jelas benar kapan draft finalnya rampung selain yang dijanjikan Kementerian Koperasi (selesai Oktober). “As a sector we need to go more on the offensive. We've got some wonderful governance models around the world and many of ICMIF’s members have very strong engagement with their own members and a proper structure in place for appointments to boards through the membership role – NFU Mutual would be a prime example.” Papar Mr. Tarbuck. Ya, mungkin kita masih memerlukan pemerintahan dan DPR yang wonderful agar regulasinya juga bermutu. PRIONO