Informasi yang diterima WartaKoperasi belum lama ini, RUU Perkoperasian kemungkinan diketok palu pada akhir Agustus ini. Dan saat ini, entitas gerakan koperasi tengah harap-harap cemas menanti pecah telur regulasi yang mengatur kiprah mereka. Pasca Undang Undang Perkoperasian No.17 Tahun 2012 dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi (MK), hingga saat ini, memang belum terang benar seperti apa format penggantinya. Publik gerakan koperasi juga tak mendapat informasi memadai sejauh mana proses perancangan draft RUU Perkoperasian sebelum disyahkan.
Pada 27 Agustus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menghelat Diskusi Publik bertema “RUU Perkoperasian dan Matinya Demokrasi Ekonomi”, di Jakarta. Dalam rilis yang diterima Warta Koperasi. Sejumlah argumen disodorkan ihwal pentingnya wacana demokratisasi ekonomi yang diimplementasikan, salah satunya, melalui Undang Undang Perkoperasian.
Dalam pandangan YLBHI, kondisi dunia yang dihadapkan pada ketimpangan sosial ekonomi, kerusakan lingkungan, kemiskinan akut, konflik, krisis, stagflasi dan lain sebagainya, telah mendorong pemikiran banyak orang untuk memikirkan kembali adanya perubahan tata sistem ekonomi dunia yang kapitalistik saat ini. Banyak ekonom dan pemerintah mulai memikirkan kembali tentang upaya penerapan sistem demokrasi ekonomi.
Kekayaan pribadi total seluruh dunia tahun 2017 mencapai $ 178 trilyun. Dari jumlah ini hampir 45 persen – dikuasai oleh satu persen orang terkaya di dunia (Guinan, 2018) dan dinikmati selama lebih dari tiga dekade. Lembaga Suisse pada tahun 2016 merilis, kekayaan 4 keluarga terkaya di Indonesia itu sama dengan penjumlahan kekayaan 100 juta orang Indonesia dari yang termiskin. Kekayaan kolosal elit global dan nasional ini terus tumbuh semakin konsentratif, akumulatif dan monopolistis.
Mengingat konsentrasi mengejutkan tersebut, pemerintah di seluruh dunia berusaha keras untuk menahan peningkatan ketidaksetaraan melalui perpajakan dan belanja redistributif. Walaupun bagi banyak negara miskin dan negara berkembang seperti Indonesia misalnya, masalahnya justru menjadi semakin rumit karena jebakkan utang, kekurangan modal dan juga pertumbuhan yang andalkan konsumsi yang dipenuhi dari importasi.
Dunia semakin jenuh, dan saat ini orang mulai memikirkan alternatif ekonomi dimana kekayaan baru dibangun secara kolektif dan dari bawah ke atas. Setelah model Keynesian yang top down, dan neoliberalisme, orang mulai berpikir serius tentang paradigma ekonomi berikutnya yang semakin konvergen pada prinsip utama demokrasi ekonomi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang tersisa tentang bentuk apa yang paling sesuai dengan itu. Kemudian orang mulai berfikir bahwa bangun perusahaan koperasi khususnya, serta model kepemilikan saham karyawan serta bisnis sosial dan mutual menjadi alternatifnya.
Ketika kita ingin serius membangun masyarakat demokratis, maka kita tak boleh lupa bahwa demokrasi politik saja tidaklah cukup. Disamping demokrasi politik, demokrasi ekonomi haruslah seiring sejalan. Konstitusi kita, UUD 1945 terutama pasal 33 jelas menyebut bahwa sistem perekonomian kita menganut asas demokrasi ekonomi. Sebuah sistem perekonomian yang berarti sistem produksi, distribusi dan konsumsinya diselenggarakan dengan proses pelibatan seluruh anggota masyarakat.
Mengacu pada UUD 1945, koperasi baik dalam konteks dimensi makro-ideologi maupun mikro organisasinya merupakan wujud nyata dari sistem demokrasi ekonomi. Hal ini sebagaimana tercermin secara jelas dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 (sebelum amandemen) sebagaimana disebutkan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi itu ialah koperasi.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusanya yang dibacakan pada tanggal 28 Mei 2014 memutuskan pembatalan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sepenuhnya. UU ini telah dianggap bertentangan dengan UUD 1945 secara fundamental karena dianggap telah mencabut asas kekeluargaan dan demokrasi dalam koperasi. Sementara itu, untuk mengisi kekosongan hukum maka diberlakukanlah UU lama Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Sebagian eksponen gerakan koperasi bersyukur dengan putusan MK itu. UU perkoperasian tersebut telah dibatalkan karena dinilai oleh hakim MK telah melanggar jatidiri koperasi dan akan mendorong pada pengertian koperasi yang salah. “Koperasi itu adalah sebagai perkumpulan orang (people base association) dan sementara pengertian koperasi menurut UU No. 17 Tahun 2012 itu diterjemahkan dalam basis pengertian sebagai asosiasi berbasis modal (capital base association) yang berarti tidak ada bedanya dengan model perusahaan swasta kapitalistik,” papar salah satu penggugat UU No 17/2012 Isminarti Tarigan, pegiat koperasi wanita Jawa Timur. Isminarti adalah salah satu elemen gerakan koperasi yang menggugat UU No.17 Tahun 2012, berseberangan dengan Pemerintah serta Dekopin yang berada di barisan pendukung UU No.17.
Sebelumnya, publik gerakan koperasi memang cukup dikejutkan dengan keputusan MK itu. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai kemenangan historis dan tidak disangka-sangka. Proses pembuatan UU yang memakan waktu lebih dari 12 tahun dan menghabiskan ratusan miliar uang rakyat seakan menguap begitu saja akibat penyusunan undang-undang yang dinilai sejumlah pihak sarat dengan kepentingan kelompok tertentu dan tidak merepresentasikan kepentingan gerakan koperasi sejati.
Belakangan, RUU Pengganti UU No.17 Tahun 2012 yang tengah digodok Parlemen, kembali memantik kontroversi. Salah satunya adalah penghapusan pasal yang terkait pengenaan sanksi berat bagi pelaku penyalahgunaan koperasi dalam draf RUU Perkoperasian. Para pegiat koperasi berpandangan, penghapusan sanksi kontradiktif dengan ikhtiar-ikhtiar menertibkan maraknya praktik koperasi bodong.
Seperti diketahui, selama ini UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sebagai pengganti UU No.17/2012 yang dibatalkan MK, cenderung lemah dan tidak imperatif. “Kenapa lemah? Karena setiap pelanggaran yang mengatasnamakan koperasi, termasuk oleh koperasi-koperasi bodong, selalu tidak jelas sanksinya. Saya curiga ada motif tersembunyi,” terang aktivis koperasi yang juga eksponen penggugat UU No.17/2012, Suroto.
Di banyak negara maju, bahkan yang tidak mengatur secara khusus koperasinya melalui UU, perlindungan akan jati diri koperasi melalui pemberian sanksi berat bagi mereka yang menyimpang, sangat tegas. Denga ketegasan itu, publik terlindungi dan mudah membedakan koperasi sejati dan koperasi palsu.
Bagaimana dengan RUU Perkoperasian Kita?
Atas permohonan uji materi (judicial review) oleh beberapa pihak unsur masyarakat sipil maka, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 (UU No. 17 Tahun 2012) Tentang Perkoperasian dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 lalu. Putusan Mahkamah Kontitusi didasarkan pada substansi pokok bahwa UU No. 17 Tahun 2012 dinyatakan bertentangan dengan filosofi dasar koperasi dan hakekat susunan perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam kondisi quo vadis, secara hukum Mahkamah Kontitusi memerintahkan untuk diberlakukan UU Perkoperasian yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sebelum dibentuk Undang-Undang baru.
Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan agar segera disusun Undang-Undang Perkoperasian yang baru. Segera setelah itu, atas inisiatif Pemerintah maka dibentuklah Tim Perumus Rancangan UndangUndang (RUU) Perkoperasian yang kemudian draft diserahkan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 26 November 2016 untuk dilakukan pembahasan.
Dalam perkembangan pembahasanya di tingkat Parlemen, saat ini draft telah masuk pada tahap pembahasan final di tingkat Panitia Kerja yang selanjutnya akan segera diputuskan dalam Rapat Paripurna Parlemen yang telah masuk pada akhir masa kerja. Melihat Rancangan Undang-Undang terakhir dalam pembahasan (Juli, 2019), ada beberapa catatan penting sebagai berikut :
RUU ini tempatkan posisi koperasi menjadi inferior. RUU ini berupaya mengebiri gerakan koperasi dengan menjadikan DEKOPIN sebagai wadah tunggal. RUU ini juga tidak imperatif dalam hal untuk menjaga nilai-nilai dan prinsip koperasi atau identitas koperasi. Pada dasarnya, RUU Perkoperasian yang ada tidak menujukkan distingsi yang substantif terhadap proses rekognisi jatidiri koperasi, sehingga hal ini akan mmperburuk upaya untuk melakukan demokratisasi ekonomi dan membuat derajat regulasi yang semakin kurang bersahabat terhadap perkembangan koperasi yang baik.
Berangkat dari hal tersebut, YLBHI memandang pentingnya publik mengetahui urgensi dari demokrasi ekonomi dan juga isu kekinian perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian. Untuk itu, YLBHI menyelenggarakan diskusi publik untuk membahas persoalan RUU Perkoperasian dan sekaligus agenda demokratisasi ekonomi.(PRIONO/FOTO ISTIMEWA)
Sumber : https://wartakoperasi.net/pecah-telur-regulasi-koperasi-berujung-ke-mahkamah-konstitusi-detail-418148