Oleh : Prof. Dr. Agustitin Setyobudi
Ada sekian banyak teori ekonomi untuk menelaah bagaimana perekonomian dunia ini berjalan dan bermuara. Paradigma ekonomi rasional-empirik masih dominan, meskipun untuk mewujudkan “kesejahteraan ummat manusia” masih jauh panggang dari api. Terbukti, sejak era Adam Smith hingga era disrupsi : kesenjangan ekonomi, kemiskinan, penyimpangan dan kriminalitas ekonomi (cyber-economic crimes), tak kunjung teratasi.
Konsep ekonomi genuine dengan berbasis keimanan subtantif layak untuk dikembangkan. Salah satunya adalah konsep perekonomian ber-tasawuf. Merupakan konsep ekonomi dimana para sufi, yang berpandangan agar manusia melaksanakan kegiatan ekonomi dengan menggabungkan syariah, tauhid dan ihsan.
Konsep ini menjadi ciri khas yang membedakan kegiatan ekonomi para sufi dengan masyarakat lainnya. Ini menggambarkan secara utuh seputar konsep tasawuf mengenai zuhud, qona’ah dan syukur dalam beberapa referensi tasawuf Risalatul Qusyairiyah, Al-Luma, dan Al-Hikam untuk kemudian dikaji dalam perspektif ekonomi Islam.
Jenis pencermatan yang normatif atau kepustakaan dengan objek pencermatan berupa konsep-konsep tasawuf yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi Islam yaitu: zuhud, syukur dan qona’ah. Dari sisi analisa ilmu ekonomi, melalui wara, zuhud, qonaah, syukur akan menciptakan distribusi pendapatan yang menumbuhkan sektor riil, kemudian meningkatkan produktifitas dan kesempatan kerja yang akan mendorong laju ekonomi.
Konsep ini juga akan menghindarkan manusia dalam menumpuk kakayaan (terkonsentrasinya harta pada sekelompok orang). Dari semua inti dari konsep ekonomi tasawuf, yang sangat mereka tekankan dalam kegiatan ekonomi, tujuan utamanya adalah untuk menuju Allah SWT. Maka motif ekonomi para sufi merupakan ekspresi taat kepada perintah Allah.
Apalagi kondisi Dunia dengan segala modernitasnya, membuat banyak manusia lupa akan tujuan hidupnya di alam ini. Seakan-akan semuanya hanya berorientasi untuk dunia semata, hanya sedikit orientasi untuk akhiratnya kelak. Dengan kondisi seperti ini, terjadilah kekosongan jiwa dan nilai-nilai spiritualitas pada umat manusia umumnya, umat muslim secara khususnya.
Setelah sebagian umat muslim menyadari hal ini, salah satu yang dapat ditempuh adalah melalui tazkiyah nafs (menyucikan diri) dengan men-tasawufkan diri. Tetapi sayangnya, sebagian besar umat muslim melakukan teori tasawuf yang lebih kepada metode ortodoks, yang lebih mengikuti tren tarekat-tarekat yang arah tujuan kurang begitu kongkrit, dan mungkin hanya bertujuan untuk menjauhi sifat keduniawian, sehingga banyak dari mereka lari dari kewajiban kita sebagai khalifah di bumi bahkan menjauhi hal-hal yang bersifat sebagai manusia sosial. Hal demikian membuat umat islam tertinggal jauh dengan umat manusia lainnya karena metode tasawufnya yang sangat-sangat mementingkan hidupnya di akhirat, dan menjauhi urusan di dunia.
Dalam hal ini Rasulullah mengajari kita sebagai umat muslim untuk menjadi makhluk sosial, memelihara keseimbangan iklim alam, serta bekerja dan beribadah secara maksimal di dunia ini untuk kelanjutan hidupnya di akhirat kelak.
Seperti dalam salah satu hikmah kehidupan yang diucapkan oleh salah satu sahabat: “I’mal li dunyaka ka annaka ta’isyu abadan wa’mal li akhiratika ka annaka tamutu ghadan”. Yang artinya: “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu meninggal besok”.
Atas dasar pemahaman diatas dimunculkan metode tasawuf yang lebih modern, tidak artodoks dan kaku. Dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim, yang beranggapan bahwa metode tasawuf ortodoks telah menyimpang dari syariat atau keluar dari batasan-batasan syariat serta melakukan bid’ah dalam beragama.
Moderasi Neo Sufisme
Terminologi Neo-Sufisme atau tasawuf modern sendiri dimunculkan oleh pemikir Muslim kontemporer yakni Fazlur Rahman dalam bukunya “Islam Paham Neo-Sufisme”, adanya integrasi antara hakikat dan syariat. Dalam tasawuf Ghazaliyah salah satu syarat untuk menuju tingkatan hakikat kita harus ber-uzlah, yakni menyendiri atau menjauhkan diri secara jasmani dan rohani. Sedangkan sebaliknya, tasawuf modern atau Neo-Sufisme syarat mencapai tingkatan hakikat justru harus ber-khultah, yakni aktif membangun berbagai aspek kehidupan masyarakat secara luas.
Disinilah, prinsip penting dalam paham Neo-Sufisme adalah tawwazun, atau adanya kesamaan antara urusan dunia dan akhirat, antara kesalehan individu dan kesalehan sosial.
Seharusnya konsep ekonomi Neo-Sufisme yang kita ambil adalah salah satu konstruksi pemikiran tokoh Neo-Sufisme, Fazlur Rahman, terhadap penetapan zakat sebagai pajak. Disini kita perlu mengetahui konsep dasar antara zakat dan pajak. Fazlur Rahman hidup di tengah-tengah perang pemikiran antara golongan modernis dan golongan tradisionalis fundamentalis yang kedua-duanya ingin merumuskan sebuah negara Islam Pakistan. Di antara dialektika tokoh-tokoh penting kedua golongan tersebut, dari modernis seperti Iqbal, Sir Sayyid Ahmad Khan, Maulana Muhammad ‘Ali. Dari golongan fundamentalis, terdapat seorang tokoh besar di belakangnya, yakni Abu A’la al-Maududi.
Awal dari pemikiran tentang penetapan zakat sebagai pajak terjadi karena pada saat itu terjadi anggaran belanja pemerintah Pakistan yang melambung tinggi, disebabkan kondisi politik yang tidak stabil atas kekalahan perang. Semakin terpuruklah perekonomian Pakistan. Pemikiran ini disebabkan pula karena menghindarinya masyarakat Pakistan atas wajib pajak karena masyarakat muslim Pakistan menganggap pajak adalah hasil dari pemikiran Barat.
Karenanya, Fazlur Rahman berpikir ingin merasionalkan dan mengefisienkan sistem perpajakan dengan membenahi sistem zakat di negaranya, Pakistan. Dengan latar belakang yang menarik ini, yang saling bertentangan karena dia hidup dalam tradisi keilmuan madrasah Pakistan yang Islam Tradisional dan tradisi keilmuan Barat yang berkonsep liberal, sehingga membentuk intelektualitasnya dalam kasus pemikirannya, penetapan zakat sebagai pajak.
Konsep ekonomi zakat ini didasarkan pada penafsirannya terhadap rincian distribusi zakat dalam surah At-Taubah ayat 60 dan surah Al-Hasyr ayat 7. Menurutnya, dalam arti luas, ayat-ayat tersebut mengisyaratkan terbentuknya kesejahteraan sosial melalui zakat meliputi menolong para gharimin, gaji pegawai administratif (kolektor pajak), pengeluaran diplomasi (untuk menarik hati orang-orang ke dalam Islam), pertahanan, pendidikan, komunikasi, dan kesehatan. Lagi, pada saat itu banyak salah paham tentang cakupan zakat, sehingga zakat adalah pajak harta yang diberlakukan kepada harta seseorang yang tertimbun dan merupakan surplus, tidak sejalan terhadap pendapatan tahunan sebagaimana pendapat beberapa penulis.
Di
abad modern khususnya, zakat menjadi murni santunan yang bersifat sukarela,
sedang kedudukannya yang dulu diganti oleh pajak sekuler yang datang dari
negara modern. Dia sangat menyayangkan sikap ulama yang menolak langkah
penyesuaian zakat dengan dalih apabila zakat tidak dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat Islam, pemerintah dapat menetapkan pajak lainnya.(*)