Oleh : Suroto
Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat ( INKUR Federation)
Apa yang kita makan itu menentukan seberapa daulat kita. Sehingga pangan merupakan urusan penting dan strategis bagi kepentingan nasional. Bangsa dan negara yang tak memiliki posisi tawar untuk tentukan ketersediaan pangannya sendiri baik dalam kualitas dan kuantitas dapat dikatakan sebagai negara tidak berdaulat dalam pangan.
Dalam pengertian ini, faktor penentu kedaulatan pangan suatu negara itu tentu bukan hanya soal kemampuan memproduksi pangannya sendiri dan atau bagaimana keamanan pangannya dipenuhi, namun sangat tergantung dari faktor kepentingan ekonomi politik lainya.
Singapura contohnya, negara ini secara keterbatasan alam tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi kebutuhan pangan domestiknya sendiri, sehingga musti mengimport produk makanan mereka. Namun Singapura dapat dikatakan lebih berdaulat dibandingkan dengan Indonesia dalam urusan pangan. Sebab mereka memiliki kemampuan untuk menentukan import pangan dengan kualitas serta kuantitas yang mereka tentukan. Alasannya sederhana, karena Singapura adalah negara investor tertinggi di Indonesia yang memiliki kekuatan ekonomi politik lebih kuat di depan Indonesia
Singapura akhirnya dapat menentukan importasi produk dengan kuantitas dan kualitas seperti yang mereka inginkan. Secara politik kebijakan panganya tidak didekte oleh kepentingan negara lain, namun justru ikut menentukan bagi negara lain, termasuk Indonesia.
Singapura sebagai negara bahkan turut menentukan harga. Mereka menjadi penentu harga bagi produk pangan negara kita. Sebut saja misalnya soal harga sawit dan produk turunanya. Sebabnya karena mereka menjadi investor dan pemilik dari banyak perusahaan sawit di Indonesia. Sehingga kendalinya ada pada mereka.
Negara berdaulat pangan itu artinya harus juga berdaulat secara fiskal. Kondisi fiskal negara kita yang terjerat oleh utang dalam posisi gali lobang buat jurang seperti Indonesia saat ini misalnya, tentu tak mungkin berdaulat dalam pangan. Sebab negara lain dapat menekan kebijakan importasi kita. Ini adalah pra kondisi yang tidak memungkinkan terjadinya kedaulatan pangan dan tentu otomatis keamanan pangan.
Dalam konteks manajemen dalam arti sempit, kita contohkan saja untuk kebutuhan import kedelai. Importasi kedelai kita 86 persen bergantung pada Amerika Serikat dan dari Kanada serta Brazil 13 persen. Ini artinya kita sebagai negara yang hobi makan tahu dan tempe, namun suplai baik kuantitas dan kualitasnya sangat tergantung dari Amerika Serikat dan Kanada. Jadi ketika setiap saat mereka bermasalah dengan soal kebijakan eksportasi kedelai mereka maka kita langsung terancam.
Sebut saja misalnya ketika Amerika beberapa waktu lalu lebih memilih untuk prioritas mengirim kedelai transgenik mereka ke Cina sebagai bahan makanan babi ketimbang mengirimnya ke Indonesia, maka stok kedelai kita langsung terganggu dan harga tempe meningkat dan menyumbang inflasi.
Akses terhadap kedelai murah dan berkualitas kita ditentukan oleh Amerika dan Kanada. Stok akan dikirim atau tidak bukan kita yang tentukan. Mereka memilih untuk mengirimkanya dengan perolehan harga tertinggi ke Cina. Akhirnya, kita tidak berdaulat dalam urusan kedelai. Demikian juga sektor pangan lainya seperti beras, jagung, garam, gandum, daging dan lain sebagainya.
Janji Kedaulatan Pangan
Presiden Joko Widodo (Jokowi ) di masa awal kampanye sebagai calon presiden salah satunya adalah ingin membangun kedaulatan pangan. Bahkan secara terang terangan lantang akan stop import pangan. Tapi kenyataanya setelah hampir dua periode, semua tak seindah yang dikatakan. Kita bergantung import pangan di berbagai jenis dan kedaulatan pangan menguap begitu saja.
Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang meningkat terus diikuti oleh kecenderungan menurunnya kontribusi sektor pangan seperti pertanian dan perikanan telah mengancam krisis pangan. Dari kurang lebih 1 milyar orang di dunia yang mengalami kelaparan dan krisis pangan, Indonesia sendiri menyumbang kurang lebih dari 70 juta orang. Ini adalah masalah serius dan musti dicari solusinya bersama.
Pangan adalah masalah pokok sebelum kebutuhan pokok lain seperti sandang dan papan. Kalau kita tidak segera tangani secara serius bisa menjadi masalah yang kompleks dan sebabkan krisis multidimensi.
Kedaulatan Semu
Kita pernah pada tahun 1980 an swasembada beras. Tapi tidak berlangsung lama. Sebabnya adalah karena ketahanan pangan kita itu defisit kelembagaan sosial yang menjamin bagi keberlanjutan, keadilan dan juga kedaulatan pangan.
Kegagalan dari konsep praktek revolusi hijau, dan juga program bombastis semacam Sejuta Lahan Gambut dan terakhir Food Estate menandakan betapa kacaunya sistem pengelolaan pangan kita. Kita selalu mengulang konsep konsep kuno yang sudah gagal hipotesisnya sejak dibentuk, sejak tahap sebelum dilaksanakan.
Selama ini para petani, nelayan, petambak, dan peternak kecil kita justru menjadi orang pertama yang terkena dampak krisis pangan. Ini karena tidak ada kelembagaan milik mereka yang efektif untuk menghadapi jaringan mafia pangan kita yang sudah menggurita. Kita defisit kelembagaan pangan yang dimiliki dan digerakkan oleh masyarakat sendiri secara demokratis.
Dalam menopang swasembada beras dahulu kita punya Koperasi Unit Desa (KUD), tapi organisasi ini hanya dimanfaatkan sebagai instrumen kebijakan dan lupa dibangun sistem organisasinya agar kokoh. Pada akhirnya gagal dan sekarang kondisinya sebagian besar telah matisuri dan tidak banyak yang bergerak di sektor pangan.
Untuk itu, pemerintah baiknya merevitalisasi KUD ini kembali dan juga mendorong agar muncul koperasi di sektor pangan seperti Koperasi Pertanian dan Perikanan yang "genuine", lembagaannya harus benar-benar diperhatikan. Kita dapat belajar dari negara lain seperti sukses dari Koperasi petani IFFCO di India, koperasi pertanian Zennoh di Jepang, NACF di Korea dan lain lain yang tempatkan peran sentral koperasi dan petani serta nelayan rumah tangga mereka sebagai yang utama.
Sebagaimana kita tahu, koperasi itu organisasi bisnis yang dikelola secara demokratis oleh masyarakat. Jadi kalau Pemerintah dapat turut memperkuat aspek organisasinya maka sama halnya dengan memperkuat sistem kedaluatan pangan. Sebab tak ada kedaulatan pangan tanpa kendali dari masyarakat secara demokratis dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan.
Organisasi Ketahanan Pangan
Untuk membangun kedaulatan pangan maka, sektor pertanian dan perikanan terutama, harus diberdayakan dalam sektor "on farm" dan "off farm" secara integratif. Jangan biarkan petani dan nelayan kita jadi bulan bulanan mafia kartel pangan dengan biarkan mereka bergerak di sektor on farm yang margin keuntunganya rendah. Sementara bisnis off farm seperti penyediaan sarana dan prasarana, prosesing, pengolahan, pemasaran dan sektor penunjang seperti keuangan dan asuransi yang bermargin tinggi dikuasai oleh pengusaha besar.
Ironi kelaparan yang di derita oleh keluarga petani dan nelayan sebagai penghasil pangan harus dihentikan. Perlu melakukan terobosan yang tidak biasa biasa saja. Proyek Infrastruktur fisik yang dikatakan untuk mendukung sektor pangan itu hanya akan kuat dan berkelanjutan jika aspek kelembagaan sosial masyarakatnya petani rumah tangga dan industri rumah tangga mereka juga dibangun dengan kokoh .
Paket Input
Selama ini, kebijakan pangan kita selalu menggunakan kebijakan kuno yang disebut kebijakan paket input. Kebijakan ini berupa subsidi seperti pupuk, dan akses kredit dan lain lain.
Paket kebijakan ini selalu gagal, karena masyarakat tidak turut menentukan. Semua menguap dan tak sampai ke petani dan nelayan rumah tangga namun hanya untungkan para makelar program dan perbankkan. Penyakit lama yang ada selalu diobati dengan obat lama. Tidak ada terobosan pembaharuan yang signifikan.
Untuk subsidi pupuk misalnya, subsidi negara yang rata rata setiap tahun dialokasikan sebesar 30 an triliun rupiah selama dua dekade terlahir ini tidak pernah memberikan dampak perubahan apapun baik dari segi ketersediaan pangan, harga maupun kesejahteraan bagi petani sebagai aktor utama pangan. Petani kita tetap gurem dan nasib hidup dalam kubang kemiskinan.
Subsidi yang sangat besar itu menguap. Harga pupuk tetap dibeli petani dengan harga komersial di pasaran. Itupun ketersediaanya tak dapat diandalkan.
Barang subsidi adalah barang publik, jadi jika tanpa jalur khusus, dan juga kelembagaan yang kredibel untuk menyalurkanya sudah langsung berpotensi moral hazard. Jalur distribusi pupuk di masa Orba dulu masih lumayan, disalurkan melalui KUD ( Koperasi Unit Desa). Sekarang ini subsidi justru jadi bancaan elit kaya.
Selain paket input, negara juga berusaha keras untuk menutupi kekurangan dari praktek sistem ini dengan yang disebut proyek relaksasi. Bantuan sosial untuk memoderasi kemiskinan akut akibat kenijakan yang salah digelontorkan ke rakyat kecil, adalah mereka yang bernasib sial karena tak masuk dalam urusan kongkalikong pejabat-pengusaha. Sayangnya, mereka yang tak punya akses itu namanya adalah : rakyat. Rakyat yang jumlahnya banyak, kelompok rakyat paling banyak yang seharusnya memegang daulat dari pangan, kedaulatan dari negeri ini.
Langkah Taktis Strategis ?
Kedaulatan pangan adalah kondisi yang memungkinkan orang untuk memilih menentukan dengan cara apa mereka penuhi kebutuhan panganya. Untuk itu diperlukan langkah perubahan yang diharapkan mampu mengubah keadaan tersebut. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, hapus subsidi dan bantuan. Baik itu subsidi pupuk, subsidi kredit, ataupun bansos. Uang rakyat yang berjumlah ratusan triliun setiap tahun dan menguap dimakan para makelar program alangkah bijaknya jika dijadikan untuk membangun lembaga untuk memperkuat kekuatan aktor pangan utama : petani dan nelayan.
Kedua, jadikan ekonomi pangkal, atau pangan dan energi sebagai kekuatan. Ganti fokus ekonomi yang hari hari hanya pikirkan soal eksploitasi tambang dan bangun perkebunan monokultur dengan fokus ke sektor pangan dan energi terbarukan.
Ketiga, naikkan import barang modal untuk dukung sektor pangan dan kurangi barang barang import pangan jadi. Alokasikan fiskal sebesar besarnya untuk memberikan daya dukung kongkrit ke pengembangan industri pertanian basis rumah tangga.
Ketiga, reformasi agraria basis koperasi, integrasi sektor on farm dan off farm di tangan koperasi milik petani dan posisikan petani dan nelayan sebagai yang supreme, berkekuasaan, bukan sebaliknya, hanya jadi obyek kebijakan terus menerus seperti selama ini.
Keempat, kembangkan akses kredit kuota sektor pertanian dan industrinya minimal 40 persen.
Kelima, kembangkan kebijakan trade off seperti daya dukung biaya logistik atau insentif pajak lainya.
Membangun visi kedaulatan pangan adalah soal hak, dan hak paling penting seperti dikatakan Hannah Arrent adalah memenuhi hak tersebut. Hal ini tentu hanya bisa dijalankan oleh pemimpin yang berani, da benar benar bervisi untuk rakyat.Pemimpin yang bekerja untuk rakyat dan bukan jadi antek bohir. Hal yang pasti adalah bukan hanya suka slogan tapi lakukan tindakan.***