Memahami Koperasi dengan Meminjam Ilmu Fisika dan Kimia: Salah Satu Bukti Diperlukannya Koperasi sebagai Rumpun Keilmuan Multidisiplin Mandiri
Oleh: Agus Pakpahan *)
Jika setiap individu manusia adalah sebuah “atom”—dengan inti atom sebagai ruh, elektron sebagai nafas, dan proton sebagai nyawa, yang bersama-sama membentuk raga—maka Indonesia adalah sebuah “alam semesta” dengan 270 juta lebih atom yang berhamburan.
Dalam ilmu kimia, atom-atom yang stabil jarang berdiri sendiri; mereka cenderung membentuk ikatan untuk mencapai keadaan energi yang lebih rendah dan stabil, membentuk molekul.
Analogi ini tepat untuk menggambarkan koperasi: sebuah “molekul” ekonomi yang dibentuk dari ikatan sukarela antar-individu (atom) untuk mencapai kesejahteraan bersama yang tidak mungkin diraih secara sendiri-sendiri.
Namun, fakta yang kita saksikan bertolak belakang dengan hukum alam ini. Meski dilanda kemiskinan dan ketertinggalan—kondisi yang seharusnya menjadi “energi pengikat” yang kuat—atom-atom sosial itu tetap terpencar.
Mereka tidak secara spontan membentuk molekul koperasi yang kokoh. Di sinilah kita perlu meminjam konsep entropi sosial. Layaknya dalam termodinamika, di mana entropi mengukur derajat ketidakteraturan dalam sebuah sistem, entropi sosial menggambarkan kecenderungan masyarakat menuju disintegrasi, hilangnya kepercayaan, dan melemahnya ikatan kolektif.
Akar dari entropi sosial yang parah di Indonesia dapat ditelusuri dari trauma sejarah panjang, termasuk penjajahan selama 400 tahun yang secara sistematis merusak modal sosial dan memecah-belah masyarakat. Akibatnya, “energi aktivasi”—usaha awal untuk membangun kepercayaan, menyusun organisasi, dan mengumpulkan modal—menjadi terlalu tinggi untuk dilewati oleh masyarakat yang sudah kelelahan secara sosial dan ekonomi.
Dalam kondisi entropi sosial yang tinggi, menunggu pembentukan koperasi secara murni bottom-up adalah sebuah ilusi. Di sinilah kebijakan top-down yang cerdas menjadi sebuah necessary collective action. Layaknya katalis dalam reaksi kimia yang menurunkan energi aktivasi, intervensi negara—dalam bentuk regulasi yang memudahkan, insentif fiskal, pendampingan teknis, dan akses permodalan—diperlukan sebagai energi eksternal untuk memicu awal terbentuknya ikatan.
Kebijakan top-down dalam konteks ini bukanlah bentuk pemaksaan, melainkan pemberian “platform” dan “katalis” yang memungkinkan ikatan sosial-ekonomi yang telah terputus dapat tersambung kembali.
Akan tetapi, katalis saja tidak cukup. Sebuah reaksi kimia membutuhkan kondisi yang tepat agar dapat berlangsung berkelanjutan. Demikian pula dengan koperasi. Kebijakan top-down adalah kondisi yang necessary, tetapi belum sufficient.
Diperlukan komplementaritas yang harmonis antara pendekatan top-down dan bottom-up. Negara menyediakan infrastruktur dan kerangka hukum, tetapi “roh” koperasi—rasa memiliki, kepercayaan, dan inisiatif—harus datang dari dalam atom-atom itu sendiri.
Infrastruktur digital yang disediakan pemerintah harus diadopsi dan diinovasi secara lokal; pendampingan yang difasilitasi negara harus dievaluasi kinerjanya langsung oleh anggota; dan akses pasar yang dibuka harus dijawab dengan peningkatan kualitas produksi oleh komunitas.
Komplementaritas inilah yang akan melahirkan apa yang dapat kita sebut sebagai “Koperasi Kuantum.” Koperasi ini tidak hanya sekadar “molekul” biasa, tetapi sebuah sistem yang mampu melakukan quantum leap—lompatan besar dalam memberdayakan anggotanya dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
Inspirasi nyatanya dapat kita lihat pada CU Keling Kumang di Kalimantan Barat. Koperasi ini bukan hanya bermula dari ikatan sosial yang kuat (bottom-up) di antara komunitas Dayak, tetapi juga mampu memanfaatkan peluang dan teknologi modern (difasilitasi oleh pendekatan top-down yang tepat).
Ia tidak hanya menyediakan layanan simpan-pinjam, tetapi menjadi tulang punggung ekonomi komunitas yang melampaui ekspektasi. CU Keling Kumang adalah “molekul kuantum” yang stabil, adaptif, dan memiliki efek transformatif yang masif bagi lingkungan sosial-ekonominya, sebuah bukti bahwa ikatan koperasi dapat mengatasi entropi sosial.
Kesimpulannya, memandang koperasi hanya melalui kacamata ekonomi semata adalah sebuah kekeliruan. Analogi dari fisika dan kimia—tentang atom, molekul, energi aktivasi, katalis, dan entropi—dengan jelas menunjukkan bahwa koperasi adalah entitas kompleks yang hidup di persimpangan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi sosial, dan ilmu pemerintahan.
Untuk memahami kelahiran, kehidupan, dan kelestariannya, kita memerlukan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Oleh karena itu, sudah saatnya koperasi diakui tidak hanya sebagai gerakan ekonomi, tetapi juga sebagai sebuah rumpun keilmuan mandiri yang multidisiplin.
Hanya dengan pendekatan ilmiah yang holistik dan humanis seperti inilah kita dapat merancang strategi yang efektif untuk mentransformasikan atom-atom yang terpencar menjadi molekul-molekul koperasi kuantum yang kuat, yang pada akhirnya akan membentuk sebuah “senyawa” masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45.(*)
*) Prof.Dr. Agus Pakpahan, Pakar Perkoperasian Indonesia, Rektor IKOPIN University