Oleh Ahmad Subagyo[1]
Pengantar
Frasa “Koperasi gagal” sangat tidak enak untuk didengar, tapi nyatanya selalu ada. Baik yang mengapung ke permukaan karena diberitakan media massa maupun dipendam dalam-dalam hingga tak sampai ke telinga kita. Realitanya, kasus koperasi gagal hampir setiap tahun selalu ada dan kebetulan yang mampir ke telinga kita seringkali hanya menyangkut Koperasi beraset ratusan miliar. Selebihnya, koperasi bermasalah yang beraset “hanya” puluhan miliar adakalanya tak sampai ke telinga kita.
Lima tahun terakhir, sejumlah koperasi bermasalah ramai menghiasi pemberitaan media. Diantaranya adalah Koperasi Langit Biru (Tangerang), Koperasi Pandawa (Depok), Koperasi Cipaganti (Bandung), BMT CSI (Cirebon), dengan kerugian di atas Rp 1 triliun. Koperasi Pandawa (Malang), BMT Global Insani (Cirebon), BMT Nuruh Hikmah (Jakarta), dengan kerugian ratusan miliar. Tahun 2019 lalu, bahkan, kita mendengar kasus Koperasi Koperasi Simpan Pinjam Hanson di Jakarta dan BMT Amanah Ray di Sumatera Utara dengan kerugian simpanan anggota ratusan miliar yang belum terbayarkan. Di atas adalah sejumlah nama yang sempat terdengar karena sempat terlintas di pemberitaan media. Tahukah anda, tidak sedikit Koperasi gagal lainnya yang nilai asetnya puluhan miliar tersebar di beberapa daerah? Kejadian demi kejadian yang merugikan masyarakat banyak ini, sebenarnya menjadi tanggung jawab siapa?
Tanggung Jawab Anggota Sendiri
Koperasi, selain sebagai badan hukum yang terdaftar di KemenkumHAM, juga sebagai organinasi mandiri (self regulatory Organization-SRO) yang mengatur dirinya sendiri, karena para pemiliknya adalah anggota Koperasi dan mereka sendiri sebagai pengguna jasanya. Regulasi ini hanya berlaku untuk Koperasi Simpan Pinjam sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.
Barangkali kita hanya mengenal istilah ART (Anggaran Rumah Tangga) dalam organisasi Koperasi. ART ini merupakan instrumen penting koperasi dalam mengatur “dirinya sendiri”. Siapa saja yang diperbolehkan menjadi “anggota koperasi”, pengaturan pengambilan keputusan, pengaturan keanggotaan, pengaturan pembagian SHU, pengaturan struktur kepengurusan, pengaturan pendanaan, pengaturan penyaluran dana, dan pengaturan lainnya menyangkut keorganisasian dan pertanggungjawaban. Mungkin selama ini kita sudah tidak peduli dengan dokumen yang kita kenal dengan “ART” ini. Bahkan dalam pemeriksaan baik internal maupun eksternal Koperasi, dokumen ini nyaris tak tersentuh lagi.
Lalu bagaimana dengan Anggaran Dasar (AD)? Pengaturan organisasi yang ditulis dan diterbitkan dalam bentuk AD sejatinya hanyalah aturan-aturan pokok saja. AD masih perlu diturunkan dan dijelaskan dalam peraturan turunan yang kita sebut dengan Anggaran Rumah Tangga (ART). Jika mau di-challenge, silakan dikoreksi dan diungkap kembali, hampir semua Koperasi “gagal” dapat dipastikan tidak memiliki Anggaran Rumah Tangga (ART). Kalaupun ada, posisinya hanya pelengkap untuk mendapatkan hasil Penilaian Kesehatan (PENKES). Mereka tidak punya ART karena hanya dikendalikan dan dimiliki oleh dua atau tiga orang saja. Buktinya, dalam kasus koperasi bermasalah yang berhasil disidik pihak berwajib, yang ditangkap, diadili, dan dipenjara maksimal hanya dua sampai tiga orang saja. Tidak semua pengurus ditangkap dan dipenjara karena pelaku pengurasan uang masyarakat ini nyatanya hanya segelintir orang saja. Mengapa kejadian demi kejadian macam itu terus muncul tiap tahun tanpa terkendali?
Deteksi Dini Early Warning System
Kita tidak memiliki instrumen Early Warning System untuk mendeteksi Koperasi yang menuju pada “kegagalan”. Kita dapat membayangkan, bagaimana mungkin terjadi Lembaga Pemerintah (PIP) memberikan pembiayaan kepada satu BMT besar di Medan-Sumut dengan dana puluhan miliar, tiba-tiba beberapa bulan kemudian BMT-nya colaps (bangkrut). Banyak pertanyaan mengemuka. Katanya hasil Penkes-nya “SEHAT”, Laporan keuangan-nya bagus, dan telah berdiri sepuluh tahun lebih, lalu mengapa tiba-tiba dalam hitungan bulan bisa bangkrut?
Nah, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, saat Koperasi ini bangkrut, adakah langkah-langkah yang sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh regulator dalam menangani kasusnya? Pada umumnya, kasus ditangani oleh pihak pengadilan dalam proses litigasi. Ini wajar mengingat kita tidak memiliki Resolution and Crisis Management Framework, seperti yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam handling problem di Lembaga Keuangan yang bermasalah. Dalam RCM Framework ini diuraikan tentang bagaimana melakukan mitigasi risiko atas kegagalan Lembaga Keuangan. Artinya, sebelum suatu LK dinyatakan “gagal” langkah-langkah dan upaya yang dilakukan oleh Otoritas (OJK) sudah digariskan dan ditentukan. Contohnya adalah pemberian bantuan likuiditas, memblokir aliran kas keluar para pejabat-nya, dan seterusnya. Sehingga kerugian bahkan kegagalan dapat diantisipasi, dicegah, dan diminimalisir.
Lalu, dalam konteks “koperasi gagal”, ini tanggung jawab siapa? Apakah sepenuhnya jadi tanggung jawab anggota-nya sendiri yang menaruh dananya di Koperasi? Lantas di mana tanggung jawab Pemerintah?
Beberapa pertanyaan di atas tidak memiliki jawaban instan, dan debatable. Dalam konteks ini baik juga sekiranya kita kembalikan pada amanat Undang-Undang Koperasi yang masih berlaku saat ini, yaitu UU No. 25 tahun 1992.
Tanggung Jawab Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini adalah kementerian Koperasi dan UKM sesuai amanat UU, bertugas melakukan pembinaan terhadap Koperasi (Bab XII pasal 60-63). Sehingga pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) dilakukan dalam rangka pembinaan. Namun, sesuai dengan perkembangan Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) upaya pembinaan ditingkatkan melalui pengawasan (Bab VI Pasal 24) dan dilakukan pengaturan pelaksanaannya. Perhatian Pemerintah semakin meningkat merespon perkembangan usaha simpan pinjam yang terus tumbuh melalui pembentukan Deputi Pengawasan berdasarkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 17 tentang Pengawasan Koperasi.
Peraturan pelaksanaan pengawasan terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPSS) telah banyak dihasilkan oleh Pemerintah, namun masih terasa lemah dalam pelaksanaan dan penegakannya. Sangat bisa dipahami, bagaimana sulitnya mengendalikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) dan USP/USPPS yang jumlahnya tercatat lebih dari 79.000 di seluruh Indonesia.
Dalam regulasi yang ada, area “tanggung jawab” pemerintah terhadap koperasi terbagi dalam tiga level. Yaitu, Koperasi Nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat (Kemenkop-UKM), Koperasi lintas kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Koperasi lintas Kecamatan dalam kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota.
Kelak, dengan adanya aturan baru terkait dengan OSS (Online Single Submission) tidak ada lagi Koperasi nasional, koperasi provinsi dan koperasi kabupaten/kota, karena proses legalisasi melalui system online dapat dilakukan oleh notaris terdaftar di seluruh Indonesia. Ini akan berpengaruh terhadap pola dan skema pengawasannya. Diperlukan instrumen pengawasan yang tidak lagi bergantung pada pemeriksaan on site. Pengawasan off site menjadi keniscayaan, yaitu melalui teknologi digital.
Lalu, bagaimana proses penanganan Koperasi gagal?
Membangun Infrastruktur Pengawasan
Pemerintah dalam hal ini Kemenkop dan UKM tidak mungkin bekerja sendirian dalam melakukan pengendalian dan memitigasi risiko kegagalan Koperasi. Kerjasama dengan pihak-pihak terkait sangat diperlukan dan menjadi kunci sukses keberhasilan handling Pembinaan terhadap keberlangsungan Koperasi yang menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia, terutama Pemerintah sesuai amanah Undang-Undang.
Pengawasan Koperasi akan efektif jika didukung oleh Infrastruktur kelembagaan dan regulasi yang memadai disertai adanya insentif atas prestasi dan disinsentif terhadap pelanggaran terhadap kepatuhan. Pekerjaan membangun infrastruktur ini bukanlah hal yang mudah sekaligus bukan sesuatu yang tidak mungkin. Jika komitmen dari Pemerintah kuat dan didukung oleh Gerakan koperasi , maka penguatan terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) akan dapat dilakukan dan pencegahan terhadap adanya pelanggaran dan kegagalan dapat dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Membangun infrastruktur kelembagaan dalam konteks penguatan pengawasan Koperasi memerlukan waktu yang panjang. Dalam jangka pendek, ada yang dapat dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM selaku pemangku kepentingan.
Lima (5) program jangka pendek yang dapat dipersiapkan, antara lain:
(1) Pelaporan berbasis online (digital)
(2) Peningkatan efektivitas jabatan fungsional Pengawas
(3) Integrasi sistem pengawasan (pusat-daerah)
(4) Pembaharuan instrumen pengawasan
(5) Optimalisasi proses penilaian kesehatan beserta hasilnya.
Pengawasan Berjenjang
Pemerintah akan kesulitan melakukan pengawasan sendiri. Salah satu infrastruktur yang tersedia adalah Koperasi Sekunder. Koperasi sekunder dapat berfungsi sebagai layer pertama dalam proses pengawasan. Selanjutnya Asosiasi dan Gerakan Koperasi (Dekopinda/Dekopinwil/Dekopin) menjadi layer kedua, dan Pemerintah Daerah/Pusat menjadi layer ketiga. Layer ini bukanlah urutan, layer pertama dan kedua adalah pengawasan masyarakat sendiri terhadap Koperasi yang ada di tengah-tengah mereka, sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap Gerakan membudayakan koperasi dan menguatkan Koperasi sebagai bagian dari implementasi UUD pasal 33.
Selama ini Koperasi sekunder/Asosiasi dan Gerakan Koperasi absen dalam proses pengawasan terhadap Koperasi (KSP/KSPPS). Padahal, mereka adalah bagian penting dalam gerakan perkoperasian kita. Komitmen seluruh anak bangsa menjadi bagian penting dalam penguatan Koperasi di masa yang akan datang.
Pendirian Koperasi Jasa Audit (KJA) dan revitalisasi KJA menjadi salah satu kebutuhan dalam melengkapi infrastruktur kelembagaan mandiri yang di-bangun oleh masyarakat. Layanan penguatan dalam pendampingan penguatan tata-kelola dan kepatuhan menjadi bagian dari Gerakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat.
Koperasi gagal harus dapat dikendalikan, dieliminir kuantitasnya. Mitigasi harus dapat dilakukan sedini mungkin, baik oleh Gerakan Koperasi itu sendiri maupun oleh Pemerintah. Melalui sinergi Sistematis yang terstruktur oleh para stake holders di atas, diharapkan kasus-kasus koperasi gagal tak lagi sering-sering mampir ke lini masa media dan telinga kita. Semoga.
1) Dr. Ahmad Subagyo, Ketua Umum Indonesia Microfinance Expert Association (IMFEA), anggota Dewan Pengawas PINBUK Pusat.