Koperasi Gagal dan Pentingnya Early Warning System 2

Koperasi Gagal dan Pentingnya Early Warning System 2


Kemarin (16 Maret), Penulis diundang oleh Dinas Koperasi & UKM Kabupaten Jepara-Jateng dalam acara Workshop tentang Membangun Jejaring Koperasi. di sela-sela acara, sempat bertemu dengan Pejabat Pengawas Koperasi setempat. Beliau tidak sempat menghadiri acara ini karena sejak jam 8 pagi sedang dimintai keterangan sebagai saksi atas kasus Koperasi bermasalah di wilayah kerjanya. Konon, hampir 5 jam baru selesai untuk menjelaskan dan mengurai kasus ini. Betapa sangat melelahkanya.

Bulan lalu, penulis juga sempat bertemu dengan Pejabat pengawas dari Kementerian yang diminta  sebagai saksi ahli dalam kasus Koperasi bermasalah. Sebelumnya, saat berkunjung ke Semarang, hal yang sama terjadi, saya mendengar begitu melelahkannya mengurus dan terlibat dalam proses pengadilan untuk menyelesaikan kasus demi kasus yang melibatkan Koperasi, terutama Koperasi simpan pinjam (KSP/KSPSS).

Mengapa, kasus Koperasi bermasalah terjadi banyak di Koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam?

Aspek-Aspek Resiko Kegagalan Koperasi Simpan Pinjam (KSP)

Koperasi Simpan Pinjam adalah Koperasi yang memiliki satu-satunya usaha dalam menghimpun dana dari anggota dan menyalurkannya kembali kepada anggota mereka. Lembaga yang mengelola usaha di sektor keuangan akan terikat dengan prinsip-prinsip keuangan, demikian pula terkait dengan risiko. Melekat risiko inheren yang sama, baik Bank, LKM maupun Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Karakteristik dan proses bisnisnya pun tidak jauh berbeda antara KSP/KSPPS dengan Lembaga Keuangan intermediary lainnya.

Sehingga, ketika kita melihat suatu keniscayaan terjadinya “koperasi gagal”, maka sebab dan faktor-faktor kegagalannya akan identik dengan yang terjadi pada Lembaga keuangan lainnya. Ditinjau dari aspek risiko, penyebab kegagalan KSP/KSPPS  dapat disebabkan oleh 6 jenis risiko, antara lain (1) risiko kredit, (2) risiko likuiditas, (3) risiko pasar, (4) risiko reputasi, (5) risiko hukum, dan (6) risiko operasional (fraud). Dalam kesempatan ini, penulis menyoroti ada 3 (tiga) risiko utama yang menyebabkan kegagalan Koperasi.

  1. Risiko Kredit (pembiayaan)

Credit Risk adalah tertunggaknya pembayaran angsuran (pokok/bunga/marjin) saat jatuh tempo  sesuai yang diperjanjikan. Penundaan pembayaran angsuran oleh nasabah (anggota peminjam) akan mengakibatkan cash flow dan likuiditas Lembaga terganggu. Angsuran yang semestinya dibayarkan oleh debitur kepada Lembaga / koperasinya, akan dipergunakan untuk membayar kewajiban Koperasi kepada pemilik dana (penyimpan/deposan) dan sebagian yang lain akan di-putar kembali dalam bentuk pinjaman (pembiayaan). Jika akumulasi pinjaman bermasalah Koperasi ini terus meningkat maka akan menyebabkan kesulitan pembayaran kewajiban, aktivitas pembiayaan akan menurun, modal akan tergerus habis dan dalam jangka Panjang akan collaps.

Contoh kasus terjadi di BMT Amanah Ray. Fasilitas produk pembiayaan di BMT ini memang memiliki kelonggaran dibandingkan dengan KSP karena dapat melakukan jual-beli, kerjasama usaha dan investasi. BMT ini melakukan investasi di sektor property dan pendirian Klinik dengan menggunakan dana simpanan dan deposito anggotanya. Padahal kita tahu, bahwa investasi di Properti adalah investasi jangka Panjang, baik dari tenor maupun tingkat pengembaliannya. Sehingga tidak matching antara tenor dana pihak ketiga dengan tenor pembiayaan yang sering di sebut dengan istilah MISMATCH.

Dalam kondisi ekonomi yang kurang baik, daya beli masyarakat terhadap property menurun, sementara kewajiban bayar kepada pemilik dana harus siap setiap saat dan terjadwal. Akibatnya tingkat pengembalian dana tidak lancar dan NPF-nya meningkat, sehingga biaya – biaya meningkat terutama cadangan risikonya. Kabar terakhir, BMT ini dilikuidasi, padahal sudah memiliki asset puluhan miliar.

Kasus Koperasi Cipaganti hampir identik. Ketika koperasi ini menjanjikan tingkat pengembalian yang tinggi kepada pemilik dana, dan memang dana yang diperguunakan untuk investasi di tambang (minning) dipredisksikan akan memberikan return yang tinggi, namun ketika waktu itu Pemerintah membatasi dan ada deregulasi di sector pertambangan, langsung Koperasi ini terkena dampak. Koperasi ini memang bukan Koperasi Simpan Pinjam, namun memiliki unit simpan pinjam (USP). USP nya dipergunakan untuk menghimpun dana, namun tidak konsisten dengan model bisnisnya yaitu simpan – pinjam, tapi berpraktek simpan – investasi. Sehingga sangat berisiko dan tidak dapat dikendalikan risiko-nya yang berdampak pada “DEFAULT”.

Jika kita Analisa banyak kesalahan yang dilakukan oleh Koperasi ini, antara lain (1) melanggar kepatuhan terhadap prinsip-prinsip koperasi. Dana dihimpun dari masyarakat, dana tidak diberikan/disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada perseorangan (anggota) namun di-investasi-kan kepada perusahaan (badan hukum lain), (2) melanggar keseimbangan dana, dana jangka pendek disalurkan untuk jangka panjang, (3) melanggar prinsip-prinsip perkreditan yang baik  (prudential).

  1. Risiko likuiditas

Liquidity risk adalah ketidakmampuan Lembaga dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Saat pemilik dana (penyimpan dan deposan) ingin mengambil dananya, mestinya Koperasi anytime dapat memenuhinya, namun ketika ada penarikan dana dan dana Koperasi tidak mencukupi, maka akan bermasalah bagi anggota penyimpan (deposan).

Walaupun secara finansiil tidak langsung berpengaruh terhadap laba-rugi Koperasi, namun akibat risiko ini akan menyebabkan ketidakpercayaan dari anggotanya sendiri. Akibatnya, kekecewaan anggota ini ditransfer kepada rekan dan anggota yang lain, sehingga menyebabkan terjadinya rush money (penarikan dana secara besar-besaran) dalam satu waktu. Risiko ini yang seringkali terjadi pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP).

Belajar juga dari pengalaman BMT Amanah di Pekalongan, Jawa Tengah. Awalnya BMT ini sangat baik, bahkan mendapatkan kepercayaan dari LPDB untuk mengelola dana, hasil dari pembiayaannya. Namun menjelang lebaran, pengurus lupa dari keharusan untuk mengendalikan likuiditasnya dengan baik, sehingga ada penarikan dana tabungan yang massive yang tidak diantisipasi oleh Pengurus. Akibatnya Koperasi kehilangan kepercayaan anggotanya sendiri, dan lagi-lagi terjadilah rush money. Tidak ada Lembaga atau Koperasi lain yang dapat membantu kesulitan likuiditasnya.  Informasi terakhir, BMT ini collaps.

Selesai? Belum juga. Kasus di BMT CSI Cirebon juga setali tiga uang. BMT ini berani memberikan imbal jasa yang besar kepada para pemilik dana. Awalnya Koperasi ini sangat cepat bertumbuh dan besar karena dana yang dihimpun terus meningkat dengan sangat cepat sebagai dampak adanya daya tarik return yang sangat tinggi. Penelusuran penulis, diperoleh informasi bahwa ternyata dana yang dikumpulkan dari masyarakat dipergunakan untuk bermain di pasar uang (intercall money) - bermain overnight di Lembaga keuangan lain yang memberikan return sangat tinggi. Alhasil transaksi ini under table sehingga ketika Otoritas meningkatkan pengawasannya, bahwa Lembaga Keuangan di luar supervisi OJK tidak diperkenankan bermain di ranah mereka, maka BMT ini segera saja kehilangan pasar yang menyebabkan turun drastis pendapatannya. Akhirnya, kemampuan untuk memberikan imbal jasa kepada para pemilik dana terganggu, efek domino terjadi. Rush money tidak dapat dikendalikan lagi.

  1. Risiko Operasional (Fraud)

Risiko operasional adalah terjadinya penyimpangan/pelanggaran di bidang operasional yang dilakukan oleh manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja. Sebenarnya, risiko operasional ini yang paling sering terjadi, baik  intensitasnya maupun frekuensinya, namun pada umumnya tidak sampai menyebabkan Lembaga “GAGAL”.

Kasus yang dapat kita angkat adalah terjadinya “ FRAUD” di Koperasi Intidana di Jawa Tengah, yang dilakukan oleh salah satu pengelolanya. Pencairan dana deposito tidak seijin pemiliknya. Dananya yang dipergunakan oleh oknum pengelola menyebabkan kerugian puluhan miliar bagi Koperasi ini. Namun Koperasi ini sampai saat ini masih bisa bertahan karena ada komitmen dari para Pengurus dan Pendirinya untuk menyelesaikan kewajiban Koperasi kepada pemilik dana. Kejadian ini sempat membuat rush money juga, namun likuiditas Koperasi ini tergolong baik, sehingga masih dapat dikendalikan dengan berbagai strategi keuangan yang dimiliki dan dipraktekkannya dengan baik.

Koperasi gagal yang disebabkan oleh risiko operasional, contohnya adalah Koperasi Langit Biru di Tangerang dan Koperasi Pandawa di Depok. Penggunaan dana oleh pengurus untuk kepentingan pribadi.

Belajar dari pengalaman Koperasi Gagal ini memberikan pelajaran kepada kita, bahwa memperlakukan Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) perlu menggunakan standar pengawasan yang setara dengan Lembaga keuangan intermediary lainnya, baik instrumen maupun metodologi pengawasannya, termasuk perlunya diberikan penguatan kelembagaan terhadap Koperasi itu sendiri.

Kedepan, kita berharap Koperasi kita yang notabene mayoritas bergerak di sector keuangan ini memiliki tata-kelola yang baik. Ada dukungan regulasi yang kuat, memiliki infrastrktur pengawasan internal yang memadahi dan ada kerjasama yang sinergis antar kelembagaan Koperasi itu sendiri sebagai implementasi prinsip Koperasi yang ketujuh. Semoga.

*) Konsultan Keuangan Mikro  (finance & Market) Bank Dunia Kantor Jakarta

Sumber : https://wartakoperasi.net/koperasi-gagal-dan-pentingnya-early-warning-system-2-detail-424335