Koperasi di Jepang Sebagai Lawan Tanding Korporasi Kapitalis

Koperasi di Jepang Sebagai Lawan Tanding Korporasi Kapitalis


Oleh: Suroto

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)


Baru-baru ini saya menghadiri simposium peneliti koperasi di Osaka, Jepang. Sebelum acara dimulai, saya menyempatkan diri berkeliling Tokyo untuk mengunjungi beberapa pusat gerakan koperasi di sana. Saya ingin melihat langsung bagaimana koperasi tumbuh dan bekerja di negeri industri maju yang selama ini dikenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, tapi ternyata justru menempatkan koperasi sebagai tulang punggung kesejahteraan rakyatnya.

img-1762225938.jpg

Saya mengunjungi tiga lembaga penting: Japanese Workers Cooperative Union (JWCU), Japanese Consumers Cooperative Union (JCCU), dan Japanese Cooperative Alliance (JCA). Kantor-kantor mereka berdiri megah di jantung Tokyo. Sejajar dengan gedung-gedung korporasi besar. JCCU bahkan memiliki kantor pusat 18 lantai yang sepenuhnya dipenuhi aktivitas ekonomi dan sosial koperasi. Di lobi utamanya terpampang diorama sejarah panjang gerakan mereka yang dimulai sejak pascaperang dunia, lengkap dengan simbol kebanggaan atas penetapan tahun 2025 oleh PBB sebagai Tahun Koperasi Internasional.

Para pemimpin koperasi di Jepang menyambut kami dengan tangan terbuka. Mereka bercerita secara transparan tentang seluk-beluk bisnis dan organisasi mereka. Tidak ada yang dirahasiakan. Berbeda dengan korporasi kapitalis yang menutup diri dengan dalih strategi pasar, orang koperasi justru bangga membagikan kunci suksesnya. Mereka percaya bahwa semakin banyak orang memahami sistem koperasi, semakin kuat pula gerakan itu tumbuh di seluruh penjuru dunia.

img-1762225952.jpg

Gerakan koperasi di Jepang bukan hanya soal bisnis, tapi sebuah sistem sosial ekonomi yang hidup, yang menjadi lawan tanding sejati sistem kapitalisme korporasi. Ia antitesis ideologis dan sekaligus kekuatan praksis yang membuktikan bahwa demokrasi ekonomi bukan utopia.

Japanese Cooperative Alliance (JCA) adalah payung besar gerakan itu. Di dalamnya bergabung federasi koperasi besar. Sebut saja misalnya seperti JA Zenchu dan JA Zen-Noh (koperasi pertanian), Zenkyoren (asuransi pertanian), Norinchukin Bank (bank koperasi), National Association of Labour Banks, HeW Coop Japan (koperasi kesehatan dan kesejahteraan), NFUCA (koperasi universitas), dan tentu JCCU (koperasi konsumen nasional).

Secara keseluruhan, JCA menaungi 19 federasi koperasi nasional dengan keanggotaan penuh, 55 organisasi tingkat prefektur dan sekitar 500 koperasi primer sebagai anggota asosiat. Fungsi mereka bukan sekadar koordinasi, tapi mencakup advokasi kebijakan publik, riset, pendidikan, hingga promosi kolaborasi lintas sektor.

Menurut data JCA tahun 2022, anggota koperasi di Jepang mencapai 108 juta orang dari total penduduk 122 juta jiwa. Hampir seluruh warga negeri itu adalah anggota koperasi. Gerakan ini menyerap 520 ribu tenaga kerja, mengelola lebih dari 34 ribu fasilitas publik, mulai dari rumah sakit, klinik, bank, hingga supermarket, mall. Juga termasuk kantor pelayanan dan pertemuan di level desa. 

Dari sisi ekonomi, koperasi Jepang menghasilkan nilai tambah (keuntungan) 4,4 triliun yen atau sekitar Rp 484 triliun. Kegiatan koperasi konsumsi saja mencapai 4 triliun yen (Rp 440 triliun) per tahun 2022. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan koperasi menyumbang 2 triliun yen (Rp 220 triliun) terhadap produksi nasional. Separuh lebih hasil pertanian dan perikanan, kehutanan Jepang disuplai koperasi. Di sektor keuangan, koperasi menguasai 22 persen  simpanan nasional dan 12 persen pangsa pasar asuransi. Nilai total pinjaman koperasi kepada anggotanya mencapai 174 triliun yen atau Rp 19.140 triliun—setara dengan 8 kali APBN Indonesia.

Angka-angka itu tidak muncul tiba-tiba. Pemerintah Jepang memahami koperasi bukan sekadar pelengkap, melainkan mesin penggerak ekonomi rakyat. Karena itu mereka membuat tujuh undang-undang koperasi sektoral. Kementerian kementerian utama seperti Kementerian UKM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan berjalan dalam orkestrasi kebijakan yang memperkuat koperasi. Negara hadir bukan untuk menguasai, tetapi memfasilitasi tumbuhnya kemandirian rakyat.

Usaha mikro, kecil, dan menengah difasilitasi membentuk koperasi agar tidak berjalan sendiri menghadapi raksasa korporasi. Melalui koperasi, mereka membangun lembaga keuangan sendiri, mengelola logistik, mengatur rantai pasok, dan menekan ongkos distribusi. Hasilnya, koperasi menjadi penyelenggara sekaligus akselerator ekonomi domestik yang kokoh, demokratis, dan merata.

Di Jepang, koperasi bukan organisasi pinggiran. Ia menjadi simbol kemandirian rakyat dan pilar demokrasi ekonomi. Keputusan diambil secara kolektif, hak suara setiap anggota sama, dan kepemilikan tidak ditentukan oleh besar kecilnya modal. Nilai-nilai ini bukan hanya jargon, tapi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara di Indonesia, koperasi justru masih diperlakukan sebagai anak bawang dalam sistem ekonomi nasional. Pemerintah lebih sibuk membuat program dan proyek atas nama pemberdayaan koperasi ketimbang menciptakan lingkungan yang memungkinkan koperasi tumbuh mandiri. Koperasi kita terjebak dalam “pembina(sa)an” birokratik yang membuatnya tergantung pada bantuan, bukan berdiri di atas kekuatan sendiri.

Bandingkan dengan Jepang. Di sana, koperasi dikelola sepenuhnya oleh anggota, bukan oleh pejabat publik.  Negara hanya memberi ruang, regulasi, dan jaminan keadilan agar mereka tumbuh sehat. Di sini, koperasi sering menjadi “alat politik” dan “wadah makelar proyek”. Banyak di antaranya mati suri begitu aliran bantuan berhenti.

Kantor JCCU di Tokyo berdiri sejajar dengan gedung-gedung korporasi multinasional sebagai simbol kesetaraan posisi koperasi dalam ekonomi nasional. Sementara di Indonesia, kantor koperasi sering tersembunyi di gang sempit atau menumpang di rumah pengurus. Ini bukan sekadar soal bangunan fisik, tapi cerminan nyata dari posisi sosial-ekonomi koperasi yang belum diangkat derajatnya.

Padahal, konstitusi kita sudah jelas menempatkan koperasi sebagai sokoguru ekonomi. Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan ekonomi disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Namun dalam praktiknya, ekonomi nasional tetap dikuasai segelintir korporasi besar yang bermain dengan logika akumulasi dan eksploitasi.

Negara membiarkan konglomerasi tumbuh tanpa kendali. Lihat saja bagaimana ritel modern, pangan, energi, hingga perbankan terkonsentrasi pada sedikit pemain. Rakyat kecil didorong menjadi konsumen, bukan produsen. Di saat bersamaan, koperasi dibiarkan jalan di tempat tanpa dukungan serius.

Jepang bisa menjadikan koperasi sebagai kekuatan ekonomi nasional karena mereka memahami bahwa koperasi adalah organisasi sekaligus perusahaan yang inklusif yang memungkinkan setiap orang dapat jadi pemiliknya. Mereka ingin rakyat justru yang jadi subyek pembangunan. 

Kita membutuhkan politik ekonomi baru yang menempatkan koperasi sebagai lawan tanding korporasi kapitalis dan bukan sebagai pelengkap atau pelarian moral. Negara harus berhenti menganggap koperasi sebagai urusan kecil, dan mulai membangun regulasi serta ekosistem yang melindungi dan memperkuatnya.

Koperasi bukan utopia. Ia adalah sistem ekonomi yang nyata, yang sudah terbukti di Jepang mampu menciptakan kesejahteraan luas tanpa merusak tatanan sosial. Koperasi mempraktikkan demokrasi sejati.  Di ranah ekonomi,  setiap orang punya suara untuk turut mengambil keputusan dan mendorong  tanggung jawab. Koperaai juga menjadi alat distribusi ekonomi yang berkeadilan.

Gerakan koperasi Jepang menunjukkan bahwa ekonomi rakyat bisa berdaulat tanpa harus tunduk pada logika pasar yang serakah. Mereka menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi tidak harus terpusat di tangan segelintir orang, tapi bisa menyebar merata di tangan jutaan anggota yang bekerja sama. Jepang ingin membangun kekayaan masyarakat bukan individu. 

Sudah saatnya Indonesia berhenti menjadikan koperasi sebagai “hiasan” dalam pidato pejabat. Negara harus mengambil langkah tegas dengan menghapus dominasi korporasi predator, menghentikan monopoli pasar, dan membuka ruang bagi rakyat untuk membangun ekonomi bersama melalui koperasi.

Kita bisa belajar dari Jepang bukan untuk meniru bentuk luarnya, tetapi untuk menyalakan kembali roh ekonomi gotong royong yang sejatinya sudah lama hidup dalam budaya bangsa kita. Dengan jalan itu, koperasi Indonesia tak lagi menjadi pelengkap, melainkan kekuatan utama yang menandingi kapitalisme korporasi global sebagaimana yang telah dibuktikan rakyat Jepang.(*)

(Teks dan Foto : Suroto)

Sumber : https://wartakoperasi.net/koperasi-di-jepang-sebagai-lawan-tanding-korporasi-kapitalis-detail-460307