Oleh : Dr. Nining I Soesilo
(Perancang Konsep Ultra Mikro, Dosen FEB UI, Founder, Pembina UKM Center FEB UI)
Dalam acara webinar yang diselenggarakan oleh BaraJP Belanda pada 4 Juli 2021, dari Bali seorang peternak sapi mengeluh bahwa susu sapinya hanya dihargai sebesar Rp 5.500 per liter oleh KUD (Koperasi Usaha Desa) setempat, padahal harga pakan makin meningkat. Pada saat ini, air mineral dari merek- merek terkenal yang diproduksi perusahaan korporasi, dijual dengan harga Rp 26.000-Rp 33.000 per liter, bisa 6 kali lipatnya!
Padahal FAO menemukan bahwa produk susu di seluruh dunia mengalami kenaikan harga tertinggi, yaitu 44,8 persen, diikuti oleh harga beras (32,9 persen); gula (29,5 persen); lemak, minyak, minyak biji (28 persen); jagung (20,2 persen), dan gandum (15,3 persen). Harga daging sapi justru menurun (21,6 persen), dan paling pesat anjloknya adalah harga unggas (53,5 persen).
Hasil kerja keras memelihara sapi sampai bisa memerah susunya yang bergizi (ini diperebutkan di saat pandemi Covid-19), ternyata dihargai sangat murah. Bahkan susu dihargai lebih murah dari air yang tinggal ditampung saja! Keluhan peternak ini ternyata berasal dari seluruh Indonesia, karena peternak sapi rata-rata hanya punya 2-3 sapi, jauh dari angka ideal sekitar 5-7 sapi, sehingga posisi tawarnya amat rendah.
Dalam logika ekonomi neoklasik, semua orang dianggap rasional. Dalam kalkulasi modal kapital, manusia akan menjadi “binatang ekonomi”, yang diasumsikan akan mengutamakan pencapaian kenikmatan tak terhingga.
Para pemikir holding ultramikro umumnya beranggapan bahwa sebuah korporasi untuk melayani pengusaha ultramikro yang dikonsepkan oleh Kementerian BUMN, mengharuskan skala yang besar supaya lebih efisien, sehingga lebih murah bunganya bagi UMKM, dan otomatis akan lebih mensejahterakan pelaku usaha ultramikro. Apakah benar demikian?
Ilustrasi ironi harga susu peternak sapi perah sebagaimana dikemukakan di atas dapat menjadi sebuah gambaran bahwa logika ekonomi neoklasik itu tidak selalu benar. Ini karena asumsi ceteris paribus-nya (hal lain dianggap sama) terlalu banyak. Kelemahannya adalah karena rasionalitas manusia juga terbatas, mengingat ada perbedaan kebiasaan, kekhasan lokalitas, perbedaan geografis, budaya, dan sejarah yang justru membutuhkan pelayanan yang tidak homogen. Jadi, agregasi perilaku heterogen ini sebenarnya tidak bisa dilakukan.
Konsep Ultra Mikro
Sebagai perancang konsep ultramikro (UMi), di sini saya ingin menguraikan kronologisnya dan konsepnya. Ultramikro adalah muara dari kegiatan Riset Unggulan UI tahun 2009, yang mana saya memenangkan dana hibahnya. Saat itu saya masih sebagai Kepala UKM Center FEUI (belum jadi FEB UI). Untuk mewujudkan hasil riset menjadi sebuah program nasional, ternyata memakan waktu delapan tahun!
Konsep ultramikro diilhami kisah sukses Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) yang menerapkan metoda Grameen Bank, kemudian dikombinasikan dengan upaya Pemerintah Kabupaten Tangerang yang secara paralel memanfaatkan APBD untuk membuat kegiatan serupa. Muhammad Yunus bersama Grameen Bank telah memenangkan Nobel Perdamaian pada tahun 2006, sebagai tindak lanjut PBB yang menetapkan tahun 2005 sebagai International Year of Microcredit. Ini karena menggenjot pertumbuhan ekonomi dunia yang ternyata diikuti oleh kenaikan jumlah orang miskin yang lebih pesat lagi karena mereka tidak punya akses ke pembiayaan.
Grameen Bank memutarbalikkan konsep perbankan umum yang dibuat oleh Bassle Accord dengan memberi pinjaman hanya kepada perempuan dan tanpa agunan dengan syarat utamanya adalah debitur harus miskin. Di Halifax Canada pada tahun 2006, Muhammad Yunus menyatakan bahwa “the more you stay away from Government, the better”. Ini karena Grameen Bank dibiayai oleh gerakan Masyarakat Sipil Dunia, bukan dari pemerintah. Menurut Giddens (1998, 2008), dalam demokrasi ,masyarakat sipil (di dalamnya ada koperasi) perlu memperoleh kesempatan berpartisipasi yang sama dengan pemerintah dan swasta.
Meskipun diilhami oleh Grameen Bank, tetapi konsep program UMi berbeda, yaitu justru mengharapkan adanya campur tangan pemerintah.
Meskipun diilhami oleh Grameen Bank, tetapi konsep program UMi berbeda, yaitu justru mengharapkan adanya campur tangan pemerintah. Saat saya diundang pertama kali oleh Kemenkeu pada tahun 2014 (waktu itu menterinya Pak Bambang Brodjonegoro) untuk membuat konsep Mekar (Mengangkat Ekonomi Rakyat ), saya sering bertanya, di mana sih peran pemerintah? Ini karena saat ingin memberi pinjaman ke orang miskin, Komida terpaksa harus meminjam di bank umum dengan biaya dana mencapai 16 persen.
Alhasil anggota koperasi (perempuan miskin) harus mengembalikan pinjaman, dengan bunga 24 persen! Meski tampak besar, tetapi spread 8 persen ini (yaitu 24 persen dikurangi 16 persen) dimanfaatkan 60 persennya untuk pendampingan usaha. Ini semacam pendidikan dan pendampingan anggota koperasi.
Kemenkeu akhirnya percaya karena anggota Komida di tahun 2014 sudah sekitar 500.000 orang yang tersebar di 10 propinsi, meski dibiayai tanpa bantuan pemerintah. Pendampingan tiap minggu (high touch) inilah juga telah membuat kredit macetnya (NPL) ada di bawah 0,05 persen. Berbeda dengan Grameen Bank, konsep UMi ditujukan bagi pengusaha perempuan maupun laki-laki, dengan pinjaman maksimum Rp 10 juta per orang, dan harus diberikan bersamaan dengan pendampingan (pelatihan usaha). Pada tahun 2020, plafon pinjaman UMi telah dinaikkan menjadi Rp 20 juta per debitur.
Ternyata tidak seperti orang kaya, orang miskin itu akan selalu membayar kembali pinjamannya. Kendala hanya terjadi kalau ada musibah, misalnya kebanjiran, tsunami, kebakaran, sakit, tetapi mereka tidak pernah ngemplang. Di akhir tahun, saat Rapat Anggota Tahunan (RAT), maka semua anggota koperasi akan mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU). Interaksi mingguan yang intens telah membentuk modal sosial yang besar.
Pembagian SHU dan pendidikan ke anggota koperasi ini tidak akan pernah terjadi kalau holding ultra mikro ini dikelola oleh perbankan. Para debitur ini juga tidak akan didatangi dan sering ditagih. Mereka harus disiplin untuk mengembalikan pinjaman, dan mengeluarkan uang transport saat ke bank.
Ternyata mengubah budaya pinjaman seperti ini tidaklah mudah. Pengalaman di Yayasan Parasahabat saat masih dikelola almarhum Pak Palgunadi Setiawan, saat mengubah pola ultra mikro menjadi pola bank, malah membuat banknya rugi karena debitur jadi malas mengangsur, sehingga yayasan ini balik lagi ke pendampingan high touch.
Kembali kepada sejarah UMi, maka setelah mendampingi Kemenkeu hampir 2,5 tahun, DPR akhirnya akhirnya setuju mengucurkan total dana APBN sebesar Rp 7 triliun untuk program UMi, dan muncullah Peraturan Menkeu tentang UMi pada tahun 2017. UMi ini dikoordinir oleh Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) di bawah Kemenkeu.
Program UMi ini dirancang melayani sekitar 46,7 juta pengusaha yang tercecer dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Saat ini sudah sekitar 57 koperasi mendapatkan dana UMi ini, dan mayoritas berupa koperasi Syariah. Meski demikian seluruh koperasi ini mendapat pelayanan tidak langsung dari PIP, karena dalam klausul APBN, kalau terjadi kemacetan pengembalian pinjaman di koperasi, maka PIP dianggap telah menghilangkan uang negara.
Untuk itu, maka dibutuhkan keberadaan Bahana Artha Ventura (BAV) sebagai jembatan dari PIP ke koperasi (two step loan). Apabila terjadi risiko, maka APBN ini tidak hilang, karena dianggap sebagai putang negara ke BUMN. Dalam hal ini BAV yang sebagian sahamnya dimiliki BRI, dianggap sebagai BUMN.
Meskipun jumlah koperasi penerima dana UMi ini banyak, tetapi total dana yang dikelola koperasi tidaklah banyak. Saat ini sebagian besar dana ultramikro justru disalurkan ke PNM dengan nama Mekaar. Sebagian dana ultramikro ini juga disalurkan ke BUMN Pegadaian, dengan skema yang agak berbeda, yaitu berupa pinjaman perorangan dengan agunan (gadai).
PNM adalah BUMN yang juga melakukan prinsip-prinsip Grameen Bank dalam menyelenggarakan pinjaman kelompok. PNM sebenarnya justru banyak sekali belajar dari Komida. Awalnya, bahkan PNM membajak anggota-anggota Komida beserta account officer-nya, jadi seperti bedol desa. Mungkin ini bukan kebijakan di pimpinan PNM, tetapi di lapangan, hal ini benar-benar terjadi. PNM sebagai BUMN dengan ‘kemewahan’ dana UMi yang murah langsung dari PIP (one step loan), masih tega mengambil jerih payah koperasi, dan tetap memberikan bunga ke nasabahnya sebesar 24 persen.
Nah, kembali ke holding ultra mikro. BRI sebagai holding company dari PNM, Pegadaian, dan BAV adalah sebuah bank yang akan tetap terikat pada prinsip Basle Accord yang tidak mengenal konsep 60 persen dari spread untuk pendampingan usaha. Membuat holding ultramikro di BUMN akan menghilangkan ‘ruh’ dari program UMi, yaitu kewajiban pendampingan anggota yang dilakukan paralel dengan menagih cicilan, yang mana proses naik kelasnya akan terjadi bersama-sama, mirip burung gereja yang terbang beriring.
Runyamnya, kementerian BUMN justru mentargetkan UMKM naik kelas dari debitur program UMi (ibarat burung gereja) agar bisa berperilaku seperti elang yang terbang sendiri (UMKM). Alam sudah mengajarkan bahwa hal ini akan sulit terealisasi.
Runyamnya, kementerian BUMN justru mentargetkan UMKM naik kelas dari debitur program UMi (ibarat burung gereja) agar bisa berperilaku seperti elang yang terbang sendiri (UMKM).
Para UMKM anggota koperasi yang meminjam ke holding Ultra Mikro juga tidak akan pernah mendapat pembagian SHU, karena BRI itu bukan koperasi. Bila prinsip high tech diterapkan dan bukan high touch, maka baik BRI maupun debiturnya akan rugi. Kalau mau fair sama dengan konsep UMi, yaitu bila biaya pendampingan usaha ini dibebankan pada bank, sebenarnya bank itu justru akan memberikan bunga lebih tinggi dibanding koperasi.
Namun iming-iming bunga bank tanpa pembinaan yang sekilas tampak lebih murah itu memang menyesatkan sehingga akan tetap menarik bagi orang awam. Ini yang akan membuat anggota koperasi beserta account officer terbajak di lapangan. Alhasil, koperasi akan jadi makin lemah. Padahal pemerintah menginginkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia.
Pada tahun 2016, saya menulis di Kompas tentang koperasi “Soko Lidi” perekonomian, karena kontribusi koperasi yang terlalu kecil. Kondisi ini belum banyak berubah, karena Kementerian Koperasi tidak diposisikan sebagai kementerian yang penting. Padahal tugasnya berat, mengurusi koperasi, dan pengusaha Indonesia yang lebih dari 90 persen berskala ultramikro.
Pada krisis tahun 1998, MPR telah tergerak membuat konsep ekonomi kerakyatan, dengan memberi peran bagi koperasi dan UMKM sesuai ruh Pasal 33 ayat 3 dari UUD 45. Apakah MPR masih tetap punya perhatian di sini? Kalau memang serius, bersuaralah lagi!
Mumpung masih seputar hari koperasi, saya ingin bercerita tentang koperasi di China. Saat jadi konsultan UN IFAD di Roma, ketika mengevaluasi proyek IFAD di Cina, kami didampingi beberapa profesor lokal. Ternyata di tiap kecamatan itu ada TVE (Township and Village Enterprise). Takjubnya, seluruh TVE ini berhasil menyumbangkan 70 persen dari total ekspor sehingga China dapat julukan sebagai the factory of the world.
Daripada bikin holding ultramikro dengan pelayanan cenderung homogen, lebih baik memelihara keanekaragaman pelayanan dan menguatkan koperasi.
Ini pernah saya kemukakan di Istana pada 6 Juli 2019, waktu Pak Jokowi minta sumbang saran dari Himpunan Pengusaha Mikro kecil Indonesia (Hipmikindo). Yang menarik, TVE yang sukses, ternyata justru yang berbentuk koperasi, bukan BUMN.
Oleh karena itu daripada bikin holding ultramikro dengan pelayanan cenderung homogen, lebih baik memelihara keanekaragaman pelayanan dan menguatkan koperasi. Selain membantu mewujudkan soko guru perekonomian Indonesia, koperasi bisa menyeimbangkan kekuatan negara dan swasta (Wright, 2011), dan bisa mencegah dominasi aktor pemerintah dan swasta yang berpotensi bengis perilakunya (Giddens, 2008).
*Isi dikutip dari konten penulis yang terbit di grup medsos Pusat Studi Koperasi UI dengan penyesuaian judul
Sumber : https://wartakoperasi.net/koperasi-dan-kontroversi-holding-ultra-mikro-detail-437231