Oleh : Suroto
(CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat/INKUR)
Sore tanggal 14 November lalu saya sampai di Pontianak dari Jakarta untuk agenda keliling naik motor di Kalimantan sebulan kedepan dalam BORNEO JOURNEY. Tujuannya untuk melihat gerakan pemekaran Koperasi Sektor Riil ( KSR) dari Gerakan Koperasi Kredit Indonesia ( GKKI) yang dikenal sangat kental di Kalimantan ini sebagai Gerakan Credit Union.
GKKI ini adalah rintisan Pater Albrecht Kariem Arbie, seorang Pastur Ordo Jesuit yang dikembangkan awal pertama kali di Indonesia tahun 1970 an. Sudah lima puluh tahun silam.
GKKI adalah gerakan koperasi di sektor keuangan. Semacam bank namun didirikan, dimiliki, dikembangkan dan kendalikan sendiri secara otonom oleh anggotanya yang kalau dalam istilah bank komersial kapitalis disebut sebagai nasabahnya.
Gerakan ini tak hanya di Indonesia, namun juga berkembang di seluruh dunia. Dilaporkan International Cooperative Bank Association (ICBA), sebuah komite di bawah gerakan koperasi dunia International Cooperative Alliance (ICA) pada tahun 2020, ada 18.500 koperasi di sektor keuangan, dengan anggota sebagai pemiliknya sebanyak 272 juta orang di lebih dari 100 negara.
Anggota GKKI seluruh Indonesia sendiri saat ini ada 4 juta orang yang bergabung di 918 koperasi dengan total tabungan yang mereka kumpulkan di koperasi sebanyak 41 trilyun rupiah dan sudah menyebar di hampir seluruh propinsi di seluruh Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.
Di Kalimantan Barat, gerakan ini adalah yang paling besar. Jumlah anggotanya 1,2 juta orang dan ada di 59 Koperasi yang bergabung di 4 Koperasi Sekunder/ Federasi.
Sejak 2011 lalu, gerakan ini juga mulai merintis sebuah gerakan pemekaran koperasi. Namanya adalah Gerakan Koperasi Sektor Riil ( GKSR). Jumlah koperasinya memang masih sedikit, baru ada 18 koperasi. Bergerak di sektor non keuangan seperti pertanian, peternakan, perdagangan distributor hingga ritel, perhotelan, agro wisata, sekolah dan lain lain. Bahkan sejak tahun lalu salah satu koperasi telah mampu dirikan Universitas. Institut Teknologi Keling Kumang ( ITKK) namanya.
Tujuan pengembangan koperasi sektor riil adalah, setelah sukses membangun disiplin menabung mereka juga ingin kembangkan sektor riil agar anak cucu mereka mampu lindungi hidup mereka dengan ciptakan pekerjaan sebanyak banyaknya, tingkatkan kesejahteraan, lepas dari kemiskisnan struktural yang diciptakan dari banyak kebijakan ngawur pemerintah, dan yang terpenting lagi adalah mampu menolak kekuatan modal dari luar yang selama ini telah mengeksploitasi hidup dan merusak alam mereka.
Gerakan tersebut diwadahi dalam satu organisasi federasi nasional yang bernama Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) yang kebetulan saya diminta jadi pelayan mereka di manajemen sebagai CEO (Chief Excecutive Officer).
Tanggal 14 November lalu, begitu sampai di Pontianak saya kaget karena tiba tiba ditelpon oleh salah satu pengurus Koperasi dari gerakan tersebut, Pak Yulius Kurniawan. Intinya saya diminta untuk menghadiri pertemuan untuk ikut membahas persoalan serius tentang Rancangan Undang Undang Omnibus Law Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan ( RUU Omnibus Law PPSK) yang saat ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) dan Pemerintah (Presiden).
Mereka sangat jarang sebetulnya mempedulikan soal regulasi maupun kebijakan yang dibuat pemerintah selama ini. Mereka sudah biasa " mengalah" untuk menerima apapun yang dibuat oleh DPR maupun pemerintah. Sebab mereka selama ini memang tidak menggantungkan diri pada pemerintah dan janji janji politisi.
Mereka bahkan tidak peduli dan pasrah menerima walaupun kebijakan pemerintah itu banyak merugikan mereka sebetulnya. Sebut misalnya kebijakan diskriminatif pemberian subsidi bunga, subsidi untuk kredit macet kepada bank. Pemberian Dana Penempatan, Modal Penyertaan dan lain lain kepada bank oleh pemerintah yang langsung atau tidak langsung jelas akhirnya berdampak menggencet mereka.
Bahkan mereka, GKKI tidak pernah persoalkan soal dana talangan (bailout) seperti misalnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau Century yang merugikan uang negara kalau dikurs nilainya sekarang hingga 2000 trilyun ( Fitra, 2018) karena dikemplang dan dibawa lari pemilik bank komersial kapitalis itu ke luar negeri.
Mereka tidak peduli walaupun uang yang mereka ikut bayarkan melalui pajak sekalipun itu dirampok oleh elit kaya yang berkongkalikong dengan pejabat tersebut.
Tapi malam itu, mereka, GKKI di Kalimantan Barat yang bergabung dalam Forum Credit Union ( FOCUS) itu terlihat begitu geram. Apa pasalnya? Sebab RUU Omnibus Law PPSK itu dibentuk dengan sangat keterlaluan. Tanpa melibatkan atau mendengarkan aspirasi mereka tiba tiba dibentuk RUU yang langsung menghantam jantung nilai nilai dan prinsip kerja mereka.
Dalam RUU PPSK tersebut tiba tiba memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) yang punya kewenangan luas masuk mengintervensi koperasi mereka. Sampai ke dalam urusan tata kelola internal. Pengurus yang dipilih dan manajer harus disetujui oleh OJK. Mereka juga harus membayar iuran, mereka berhak mengoposisi keputusan keputusan demokrastis anggota dalam banyak hal.
Mereka pikir bisa diperlakukan seperti bank. Mereka, DPR dan Presiden itu tidak hargai lagi otonomi dan demokrasi koperasi yang penting dan telah terbukti menjadi kekuatan bagi mereka untuk bertahan selama ini.
RUU tersebut dalam naskah akademiknya ditulis didasarkan pada hasil kajian pustaka dan berdasar justifikasi pengamatan lapangan dan tinjaun yuridis. Tapi ternyata isinya tidak valid.
Jika mereka melibatkan studi pustaka, semestikannya mereka melek membaca apa yang menjadi dasar filosofi dari koperasi di sektor keuangan itu dapat berkembang dan bertahan di Jerman atau Canada misalnya. Bagaimana otonomi dan demokrasi sebagai prinsip utama koperasi itu dihargai di berbagai belahan dunia dalam banyak regulasi yang disusun.
Jika dasarnya adalah justifikasi empiris sosiologis, semestinya mereka juga belajar dari pengalaman bagaimana misalnya Jerman, tempat lahirnya koperasi keuangan pertama kali berkembang di dunia sebagai organisasi. Bagaimana otonomi dan demokrasi justru selamatkan mereka dari setiap krisis keuangan maupun ekonomi dan tidak pernah menerima talangan (bailout) dari uang negara yang mereka ikut bayar. Bagaimana anggotanya/ nasabahnya itu ikut bertanggungjawab dalam melihat masalah yang dihadapi lembaga mereka.
Jika mereka memang belajar dan menyusun RUU tersebut berdasarkan pengalaman empiris di tanah air, seharusnya mereka juga bertanya pada gerakan mereka kenapa ketika krisis keuangan tahun 1997 anggota mereka tidak ada yang melalukan aksi rush ( penarikan uang besar besaran) ketika bank komersial kapitalis sampai menawarkan suku bunga simpanan sampai 62 persen.
Jika alasanya adalah Yuridis apalagi, bagaimana bisa mereka menyusun sebuah RUU tanpa hargai koperasi sebagai bangun perusahaan yang disebut sesuai dengan demokrasi itu. Bagaimana bisa mereka sebut dasarnya adalah pertimbangan yuridis tapi mereka abaikan Konstitusi?
RUU PPSK yang tujuan utamanya adalah membangun protokol dalam mitigasi resiko saat hadapi krisis keuangan dan ekonomi itu tidak melihat aspek penting nilai nilai dan prinsip koperasi?
Naskah Akademik dan RUU PPSK itu jika dasarnya adalah UUD 1945 kenapa koperasi didiskriminasi dengan tidak direkognisi / diakui untuk sama sama mendapat jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS) yang selama ini diberikan kepada bank umum komersial kapitalis?
DPR, Dewan Perwakilan Rakyat, juga Presiden yang sudah dipilih rakyat langsung dan di dalamnya juga ada gerakan koperasi kenapa tak mewakili aspirasi mereka namun justru mendiskriminasi dan mengkooptasi prinsip prinsip mereka? Untuk siapakah sebetulnya DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat itu bekerja?. Kenapa suara Parlemen yang harusnya perjuangkan aspirasi mereka menjadi nyanyian lagu koor setuju saja atas seluruh kebijakan pemerintah yang ngawur? (*/pr)