Indonesia diyakini perlu merekonstruksi ekosistem yang kondusif bagi perkoperasian untuk satu dekade kedepan. Hal itu dikemukakan oleh pakar koperasi dan keuangan mikro Dr. Ahmad Subagyo, dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Magister Terapan Politeknik Negeri Bandung (POLBAN), Jumat (18/11) lalu.
Dalam acara yang dihadiri oleh kalangan dosen dan mahasiswa S2 di lingkungan PPMT POLBAN itu, Subagyo yang juga Ketua Umum IMFEA mengemukakan, sebagaimana pertumbuhan berbagai model bisnis, koperasi di negara-negara berkembang memiliki basis perekonomian di sektor perdagangan. Hal serupa juga berlangsung di sebagian besar negara ASEAN (Malaysia, Thailand, Philipina, Singapura, Vietnam), termasuk di kawasan Amerika Utara, Asia Selatan, Afrika Utara, dan sebagian Eropa.
Salah satu kebutuhan utama dan hampir generik, adalah masalah permodalan untuk memenuhi kebutuhan keuangan masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang dan karyawan-karyawan industri baru yang bertumbuh, yaitu modal kerja dan kebutuhan konsumsi.
Subagyo lantas membandingkan situasi di atas melalui acuan historis. "Indonesia sebelum memasuki abad XXI telah banyak berdiri Koperasi di sektor riil dalam bentuk Koperasi Unit Desa (KUD). Koperasi jenis ini bergerak di sektor pertanian yang sampai saat ini masih tampak masa kejayaannya dengan memiliki Gedung PUSKUD yang megah berlantai tujuh di Surabaya," papar Subagyo.
Berikutnya adalah koperasi peternakan. Subagyo lantas mencontohkan Koperasi Peternak Susu Bandung Selatan (KPBS) yang eksis di Pengalengan-Bandung. Lalu Koperasi KAN Jabung, di Malang. "Di sektor perikanan, Koperasi Makaryo Mino, Pekalongan, misalnya, saat itu memiliki Pelabuhan Ikan terbesar di Nusantara. Mereka juga memilik industri pengolahan hasil laut". Disinggung pula eksistensi Koperasi Batik Indonesia (GKBI), yang asetnya tercatat mencapai triliunan.
Titik balik justru terjadi begitu koperasi memasuki abad 21. "Koperasi-Koperasi di sektor riil banyak yang berjatuhan dan banyak yang hanya menyisaka unit-unit usaha simpan pinjamnya," ujar Subagyo dengan nada prihatin.
Koperasi Simpan Pinjam dan usaha simpan pinjam, memang bertumbuh pesat di awal abad 21. Selain jumlah dan assetnya, model bisnis KSP juga berkembang.
Keberhasilan Grameen Bank Banglades dalam mengembangkan keuangan mikro di dunia juga menjadi salah satu model bisnis KSP di Indonesia. Salah satu replikator yang berhasil adalah Koperasi Mitra Dhuafa (Komida).
Selain itu, model bisnis Self Help Group dari India juga dikembangkan oleh industri-industri keuangan non-Bank, seperti yang dikembangkan oleh PT. PNM misalnya.
Koperasi yang mengembangkan usaha di sektor keuangan tumbuh lebih cepat di bandingkan industri di sector riil-nya.
"Saat ini 43% koperasi yang eksis memiliki usaha simpan pinjam sedang menghadapi suatu perubahan yang terasa tidak mengenakkan. Mereka harus berbenah segera menyiapkan diri untuk mengelola koperasi dengan tatakelola yang lebih baik, professional dan transparan".
Kompetisi sebagai salah satu dampak massifnya industrialisasi di berbagai sektor, ternyata berpengaruh pula pada Koperasi sektor riil yang sedang berada dalam “ZONA AMAN” pada masa itu.
"Koperasi sektor riil kita, karena selama hampir 30 tahun mendapatkan layanan dan rupa-rupa privilege dari Pemerintah, menjadikannya tidak siap untuk fight dan berkompetisi secara fair dengan korporasi. Alhasil, di akhir abad 20 Koperasi Unit Desa (KUD) yang nyaris ada di setiap Desa di seluruh Indonesia itu, bertumbangan".
Subagyo mewanti-wanti agar pengalaman pahit koperasi sektor riil di masa lalu jadi pelajaran, dan tidak menimpa koperasi sektor keuangan yang kini sedang berkembang
Mitigasi Resiko dan Urgensi Ekosistem Kondusif
Setiap probabilitas kejadian yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi perusahaan (risiko) pada hakekatnya dapat dikendalikan. Demikian halnya potensi kegagalan pada koperasi, sehingga dapat dilakukan pencegahan.
Diapaparkan Subagyo, faktor-faktor penyebab kegagalan yang bersumber dari internal (inherent) dapat di cegah melalui pengendalian internal dan menjalankan tatakelola yang baik.
"Tidak semua risiko berasal dari faktor internal, justru yang paling mematikan justru dari faktor eksternal. Misalnya, jatuhnya reputasi koperasi, tuntutan hukum dari anggotanya sendiri, tidak mampu bersaing dengan kompetitor, dan sebagainya"
Dampak risiko eksternal inilah yang tidak dapat dikendalikan sendirian oleh entitas bisnis itu sendiri. Untuk melindungi risiko akibat dampak eksternal itulah yang menjadi argumen berapa urgennya ekosistem pendukung bagi suatu entitas bisnis, termasuk koperasi.
Ekosistem kondusif bagi koperasi, akan menyerap risiko individual entitas anggotanya, memberikan pencegahan dini atas dampak risiko yang lebih besar, dan menstransfer risiko kepada entitas lain yang lebih kuat, sehingga dampak kerugian menjadi lebih kecil.
Mitigasi terhadap risiko likuditas memerlukan dukungan dari eksternal Lembaga, mitigasi terhadap risiko kegagalan proses bisnis memerlukan dukungan eksternal, mitigasi terhadap kapasitas SDM yang rendah memerlukan Lembaga eksternal, mitigasi terhadap risiko kerugian gagal bayar juga memerlukan Lembaga pendukung dari eksternal.
"Lembaga-lembaga pendukung akan bekerja efektif jika entitas Koperasi simpan pinjam beroperasi secara transparan, akuntabel, dan responsible. Pengelolaan “market conduct” akan terjaga dengan baik jika entitas masuk dalam system pengawasan yang efektif," pungkas Subagyo.
Di sinilah yang menjadi sumber perdebatan, dan perlu kita pikirkan bersama, siapakah pengawas yang memiliki kemampuan dan dukungan regulasi yang memadai agar entitas koperasi dapat masuk dalam ekosistem keuangan, sebagaimana entitas lain mendapatkan layanan dan perlindungan yang sama. (*)