Finance for Nonfinance, Sebuah

Finance for Nonfinance, Sebuah "Seni" dalam Literasi Keuangan

img-1670424069.jpg


Oleh : Dr. Ahmad Subagyo (Ketua Umum IMFEA)


Persoalan keuangan tak pernah habis dibahas. Sebab, niscaya akan menyentuh relung kehidupan setiap insan, keluarga, organisasi, perusahaan, bahkan negara.

Itulah mengapa sebuah negara modern selalu memiliki Menteri Keuangan, perusahaan punya Direktur Keuangan, organisasi punya Bendahara. Dan mereka, selalu adalah orang-orang yang handal di bidangnya 

Setiap insan hidup, sejatinya adalah pengelola keuangan. Sadar atau tidak sadar, dianggap perlu atau tidak, dinilai penting atau tidak.

Pengetahuan tentang keuangan yang baik akan membuka wawasan baru, ihwal bagaimana mengelola asset yang dimiliki secara optimal, bagaimana strategi membuka kran sumber kas masuk secara lebih optimal, dan mengendalikan kas keluar secara efektif dan efisien, sehingga setiap pengeluaran berdampak pada pendapatan baru, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Persoalan yang terlihat sederhana, misalnya, ketika ada sisa saldo penghasilan bulanan, akankah ditabung? Untuk konsumsi? atau untuk investasi?

Menabung 

Sebagian besar pribadi ketika ditanya apakah anda menabung setiap bulan? Jawabannya, bisa jadi "Oh, belum tentu. Saya akan menabung jika ada sisa dari gaji saya". Bagaimana menurut pendapat anda dengan model jawaban seperti ini? Apakah Anda akan turut membenarkannya? 

Jika jawabannya "Ya" atau membenarkan, berarti literasi keuangan kita masih terbatas. Mengapa? Karena kita masih memprioritaskan “KONSUMSI” dibandingkan “SAVING”.

Orang yang bersedia menabung memiliki orientasi dan harapan jangka panjang. Sebaliknya, orang yang selalu menggunakan dana untuk konsumsi, cenderung berorientasi jangka pendek. Bahkan, tak jarang tanpa memiliki harapan yang lebih baik di masa depan.

Banyak orang berkilah, penghasilan saya hanya UMR, bagaimana bisa menabung? Tidak mudah memang menyisihkan sebagian penghasilan untuk di ‘tabung' tanpa adanya proses pembelajaran dan keterpaksaan. 

Menabung dulu, sisanya untuk KONSUMSI

Ada sejumlah prinsip yang bisa kita pegang, agar ikhtiar menata keuangan melalui kegiatan menabung menjadi sebuah tradisi yang berdaya guna.

Prinsip pertama, alokasikan dana dengan jumlah tertentu, berapa pun penghasilan kita, untuk ditabung secara “ajeg”, rutin dan terus-menerus. Misalnya, dengan penghasilan UMR, ambil  Rp. 100 ribu, lalu masukkan dalam tabungan. Sisanya baru gunakan untuk konsumsi. Tanpa terasa, 5 tahun yang akan datang, kita bisa punya dana untuk uang muka KPR fasilitas FLPP (fasilitas Likuiditas pembiayaan perumahan) dengan UM maksimal Rp 5 juta. 

Prinsip kedua, paksa diri kita untuk menabung dengan cara mengambil sebuah manfaat terlebih dahulu sebagai investasi, lalu selesaikan kewajiban di kemudian hari. Misalnya, ambil kuliah atau kuliah lanjut (S2/S3). Ini investasi yang tidak pernah rugi. Jangan takut tidak ada biaya dan tidak bisa membayar. Jika perlu ambil “pembiayaan dari Lembaga Keuangan” untuk Sekolah/Kuliah.

Ketika anda memutuskan langkah prinsip kedua ini, maka berarti anda mengambil manfaat di muka, lalu kita dipaksa untuk menabung “menyicil/mengangsur” dari penghasilan kita secara rutin.

Buah yang dipetik dari "menabung" model ini, adalah akan membuka “sumber kas baru” anda  di kemudian hari.

Pengalaman penulis pribadi, misalnya, mengambil studi lanjut S3 justru saat tidak bekerja (PHK). Dengan sisa tabungan yang ada digunakan untuk biaya pendaftaran dan bayar SPP semester pertama. Saat itu, penulis tidak terpikirkan, bagaimana dan dari mana sumber pendapatan untuk membayar SPP berikutnya. Alhamdulillah, ternyata teman-teman di S3 sebagian besar adalah mereka yang sudah bekerja dan para professional muda. Di sinilah terbuka informasi dan jaringan baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Karier pertama sebagai KONSULTAN berawal dari saat Kuliah S3 ini. Mengenal dunia konsultasi dan alhamdulillah, masih berjalan sampai saat ini. 

Optimalisasi Aset

Ketika penulis bertanya, siapakah di antara kita yang tidak punya asset? Ternyata banyak yang angkat tangan? Tak jarang, asset dimaknai sebagai kepemilikan atas kendaraan, tanah dan seterusnya.

Penulis tegaskan, bahwa sejatinya kita memiliki asset yang sama. Kita diberikan modal yang sama oleh Tuhan berupa waktu 24jam, lalu seluruh organ kita berfungsi baik. Itu adalah asset yang sangat berharga dan akan mampu menghasilkan pendapatan yang berbeda-beda sesuai strategi dan optimalisasi fungsi masing-masing.

Jika kita ingin asset "hayati" ini berfungsi optimal, maka latihlah mereka. Otak untuk berpikir produktif, tangan yang dapat menghasilkan karya terbaik, kaki yang digunakan untuk melangkah ke titik-titik potensial, dan kata-kata yang dapat membuat orang lain Bahagia, bertambah pengetahuannya, makin tersemangati untuk saling berbagi, membantu dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain.

Saat artikel ini ditulis, penulis masih berada di atas perjalanan Kereta Api yang memakan waktu sekitar lima jam menuju ke sebuah kota.

Dalam gerbong kereta, penulis melihat sekitar. Macam-macam aktifitas penumpang di sana.  Ada yang tiduran, ada yang mendengarkan musik, ada yang ngobrol dan lain-lain. Adapun bagi penulis, satu perjalanan di atas gerbong kereta, bisa bermakna (minimal) satu artikel dihasilkan. Entah itu artikel popular atau artikel ilmiah.

Mengapa hal ini bisa dilakukan? Salah satunya, adalah buah dari kebiasaan. Kebiasaan yang bisa jadi muncul berawal dari keterpaksaan. Inilah salah satu ikhtiar penulis untuk mengoptimalkan asset agar produktif, dan semoga, bermanfaat bukan hanya bagi diri sendiri  

Optimalisasi asset yang lebih riil lagi, adalah asset fisik yang kita miliki. Apakah mampu menghasilkan asset baru? Ini pertanyaan kritis bagi para pembelajar “FINANCE for Non Finance”.

Tahun 2013, penulis memiliki satu mobil, lalu pengin punya satu mobil lagi. Bagaimana caranya? Penulis coba eksplorasi. Dari para sahabat pengusaha rental mobil didapat informasi, bahwa mobil sekelas Avanza, sudah bisa dibawa pulang dengan DP dapat Rp 15 juta.

Lalu, sahabat yang pebinis rental ini, menyarankan mobil untuk direntalkan di sebuah Perusahaan. Betul, ternyata mobil baru ini, melalui penempatan di perusahaan rental dengan sistem sewa bulanan, ternyata cukup untuk membayar angsuran mobil. Dan dalam jangka waktu tiga tahun, saya sudah bisa punya dua mobil.

Pengalaman inilah yang mendorong penulis masuk dalam dunia baru, yaitu “DUNIA RENTAL”, dan bergabung dengan para pengusaha rental. Tidak berhenti di situ, penulis bersama para kolega pengusaha rental yang memiliki keahlian beragam itu, menginisiasi berdirinya KOPERASI PAGUYUBAN PENGUSAHA RENTAL INDONESIA (KPPRI). Dikelola dengan baik, performanya meningkat, dan akhirnya dipercaya menjadi mitra eksklusif GRAB. 

Pengalaman di atas, dapat menjadi ibroh (pelajaran). Berikhtiarlah untuk mendapatkan sahabat yang penuh semangat, inspiratif dan yang bersedia untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman.  Sehingga dapat menambah value hidup kita (dunia akhirat tentunya).

Buka Lebar Pintu Masuk Kas, Kendalikan Pintu Keluar Kas

Ini penting. Terkadang, kita secara tidak sadar menutup sendiri pintu kas kita. Sebagai contoh, ada teman kita yang sedang cerita bahwa dia butuh mobil seken dengan merek tertentu dan warna tertentu yang dia sukai. Bagi sementara orang, itu hanya sekedar CURHAT. Namun, berbeda dengan si pemilik "pintu terbuka". Informasi itu tidak sekedar CURHAT seorang teman, tapi lebih sebagai PELUANG BISNIS.

Berbasis info curhatan tadi, jika kita share ke teman kita yang makelar mobil, maka akan menjadi info yang sangat berharga. Info itu dapat kita share dan terbuka komitmen akan nilai informasi itu jika ternyata benar dan terjadi transaksi. Layaknya, minimal 2% bisa kita dapatkan dari nilai transaksinya, jika berhasil.

Terkadang yang menjadi penghalang rejeki adalah adanya BLOCK MIND. Pikiran kita sudah ter-bloking. Saya, kan bukan makelar, itu bukan profesi saya.., dan alasan-alasan lain. Sekedar untuk pembenaran diri, yang sejatinya kita sedang membatasi rejeki kita sendiri.

Itu hanya satu cerita. Banyak profesi yang sebenarnya bukan profesi kita, namun dengan semangat berbagi pintu, rejeki akan terbuka dengan sendirinya.

KONSUMSI untuk FUNGSI atau GENGSI?

Yang terakhir ini juga menarik. Sebenarnya,saat kita menggunakan dana untuk konsumsi, itu difumsikan untuk memenuhi fungsi atau gengsi?

Maka, pastikan saat dana kita terbatas, gunakan dana untuk konsumsi karena fungsi. Misalnya, konsumsi atau makan, fungsinya adalah untuk menghilangkan lapar.  Maka masuk saja ke rumah WARTEG. Cukup dengan Rp. 10 ribu sudah kenyang.

Namun jika opsi konsumsi dilatari oleh gengsi, silakan masuk ke COFFEE SHOP sekedar untuk secangkir kopi. Mesti  harus membayar dua atau tiga kali lipat dari harga sepiring nasi di Warteg.

Inilah makna FINANCE FOR NON FINANCE yang melekat sehari-hari dalam kehidupan kita. Dalam Praksisnya, ia layaknya sebuah seni. Bagaimana hal demikian terjadi di perusahaan? Mudah-mudahan, dalam kesempatan lain saya berkesempatan memaparkannya untuk Anda. (*/pr)

(foto : Penulis dalam sesi mentoring dan konsultasi ihwal finansial)


Sumber : https://wartakoperasi.net/finance-for-nonfinance-sebuah-seni-dalam-literasi-keuangan-detail-445770