EKONOMI RAKYAT  VERSUS EKONOMI KERAKYATAN

EKONOMI RAKYAT VERSUS EKONOMI KERAKYATAN



Oleh : Suroto (Ketua AKSES)


Saat ini, istilah ekonomi rakyat sebagai frasa seringkali diganti dengan istilah ekonomi kerakyatan. Istilah ini seringkali dipertukarkan dengan makna seakan akan sama.  Padahal secara substansi tentu sangat berbeda maknanya dan bahkan bertentangan. 

img-1686090985.jpg

Ekonomi rakyat memiliki makna bahwa sistem ekonomi mainstream atau ekonomi utama itu adalah berada di dalam kuasa atau keputusan rakyat banyak. Sementara ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang menunjukkan hanya pada adanya kepedulian, semacam komitmen kebijakan yang pro kepada rakyat. 

Istilah ekonomi kerakyatan telah mengacaukan persepsi kita sehingga ekonomi rakyat akhirnya dimaknai sebagai urusan ekonomi masyarakat kecil, gurem, lemah, patut dibelas kasihani, dan segudang embel embel buruk lainya. 

Ekonomi kerakyatan telah menggeser makna substansial gerak ekonomi itu seharusnya tempatkan rakyat banyak sebagai subyek, sebagai pemegang peran penting. Majikan dari kebijakan ekonomi. 

Ekonomi rakyat yang egalitarian dan penuh kesetaraan akhirnya tergantikan maknanya oleh ekonomi kerakyatan yang posisikan rakyat itu subordinatif, dan jadi obyek belas kasih dari pemain ekonomi utama yang selama ini didominasi oleh pengusaha swasta besar kknglomerat yang mendapat banyak previlege kebijakan dari pemerintah. 

Persepsi tersebut akhirnya membentuk paradigma bahwa seakan sistem ekonomi kerakyatan itu adalah yang tepat. Pemerintah dan elit pengusaha besar konglomerat membangun relasi dengan ekonomi rakyat banyak  dalam bentuk relasi kuasa kebijakan program "pembinaan" terhadap ekonomi yang kecil kecil,  yang sesungguhnya justru sebagai bentuk upaya pembinasaan. 

Istilah ekonomi kerakyatan ini akhirnya membentuk pola struktur ekonomi rakyat banyak yang timpang dan terus berkelanjutan. Ekonomi rakyat terus dijadikan sebagai obyek program dan bukan sebagai subyek. 

Statistik struktur ekonomi kita kemudian menjadi awet timpang. Dimana 99,6 persen atau 64 juta pelaku usaha diisi oleh usaha ekonomi gurem dalam bentuk usaha mikro. Sementara usaha skala kecilnya hanya 0,30 persen atau 180.000 pengusaha dan sisanya adalah 0, 019 persen atau 30 ribu dalam bentuk usaha skala menengah dan 0,005 persen atau hanya 5700 pengusaha besar (Kemenkop dan UKM, 2022).  

Pengusaha mikro jumlahnya hampir sama dengan jumlah dari 67 juta kepala keluarga (KK). Statistik yang gambarkan betapa timpangnya struktur pelaku usaha kita yang mana ini juga berkorelasi dengan betapa timpangnya struktur kekayaan rakyat. Keadaan yang sangat ekstrim dilaporkan oleh Oxfarm tahun 2022 bahwa 4 anggota keluarga itu kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin. 

Posisi rakyat banyak yang lemah tersebut akhirnya menjadi semakin akut ditimpa oleh kebijakan pemerintah yang kamuflatif. Rakyat seakan dijadikan prioritas dari setiap kebijakan program namun sesungguhnya yang diuntungkan adalah kembali kepada para elit makelar program. 

Sebut saja misalnya program subsidi pupuk. Justru dengan subsidi yang angkanya setiap tahun kurang lebih Rp 30 trilyun ini praktek lapanganya ternyata di lapangan lebih banyak dinikmati oleh para distributor dan pengawasnya dan sebabkan kelangkaan pupuk ketika musim tanam tiba. 

Kebijakan afirmatif program akses kredit untuk pengusaha UMKM ternyata dalam prakteknya usaha mikro gurem yang jumlahnya hingga 99,6 persen itu hanya mendapatkan akses terhadap kredit perbankkan sebanyak 3 persen ( Bank Indonesia, 2022) dari total kredit perbankkan sebesar Rp 10.230 trilyun. 

Kebijakan subsidi dan program pembinaan UKM serta seperti upaya program peningkatan akses pasar, pembinaan sumberdaya manusia, dan upaya peningkatan usaha mikro agar naik kelas ternyata sejak setengah abad silam hanya hasilkan kondisi yang sama. 

Rakyat, dan ekonomi rakyat banyak hanya menjadi obyek pengerukan keuntungan elit. Rakyat hanya jadi gedibal program karitatif dan pada akhirnya hanya awetkan kemiskinan struktural. 

Lebih memprihatinkan   lagi, paradigma ini bahkan telah merasuk ke isi kepala para elit politik yang  selalu berjanji dan berkampanye bahwa kelak jika menjadi pejabat publik ingin lakukan santunan kebijakan karitatif tersebut.  Dan celakanya, rakyat banyak yang lemah itu juga menjadi sindrom terhadap bantuan dan kebijakan karitatif tersebut. 

Transformasi Besar

Pertama, dengan kondisi tersebut maka kita perlu merombak paradigma yang ada secara besar besaran. Tanpa perubahan paradigma maka struktur ekonomi kita tentu tak akan pernah berubah. Ekonomi kita harus tempatkan rakyat bukan sebagai obyek kebijakan pembangunan tapi sebagai subyek pembangunan ekonomi.  Ekonomi rakyat harus gantikan istilah ekonomi kerakyatan . 

Kedua, bongkar kepalsuan dari upaya  untuk terus melanggengkan istilah program  pembinaan dan kemitraan bagi UMKM. Harus dibedakan dengan tegas usaha mikro dan kecil (UMK)  yang butuh kebijakan afirmatif dan bukan dicampur baur dengan istilah Usaha Menengah  (UM ) yang selama ini sebetulnya lebih banyak mendapatkan akses karena kebanyakan dari mereka adalah usaha usaha semu kepanjangan tangan dari Usaha Besar (UB). 

Ketiga, untuk tempatkan rakyat banyak sebagai subyek pembangunan ekonomi dan juga untuk memberikan akses terhadap pengambilan keputusan ekonomi mainstream maka harus dilakukan perombakan total terhadap UU BUMN dan BUMD yang selama ini semua diperserokan dan jadi sapi perahan kepentingan kongkalilong bisnis antara elit politik dan elit kaya. BUMN dan BUMD harus dibagi sahamnya ke seluruh rakyat Indonesia agar rakyat turut menikmati, mengawasi dan mengontrol perusahaan perusahaan yang sesungguhnya milik rakyat ini. 

Keempat, agar rakyat merasakan keadilan ekonomi maka harus dibuat regulasi setingkat UU bahwa setiap buruh itu harus juga mendapatkan saham di perusahaan minimal idealnya 20 atau syukur 51 persen agar buruh bukan hanya jadi obyek eksploitasi bisnis seperti selama ini. Agar rakyat buruh tidak terus menjadi obyek bagi pengerukan keuntungan para konglomerat kaya raya. 

Kelima,  untuk meningkatkan pemerataan dan keadilan perlu dirumuskan juga UU tentang pembatasan rasio gaji tertinggi dan terendah karena ini juga jadi sumber ketimpangan dan kekuasaan hegemoni dari elit terhadap rakyat. Dalam praktek lapangan bahkan gaji buruh dan presiden direktur perusahaan itu ada yang hingga 2.200 kali lipat. Pembatasan tersebut adalah minimal 10 kali lipat. 

Keenam, harus ada langkah reformasi besar agar para petani kita yang saat ini 74 persen berisi buruh tani dan petani gurem untuk mendapatkan konsesi kongkrit dari tanah tanah dalam kuasa negara dalam skema reforma agraria yang diserahkan pengelolaanya secara kolektif dalam badan badan hukum milik rakyat terutama koperasi. 

Ketujuh, agar dilakukan restrukturisasi atas kepemilikan perusahaan agar rakyat lokal dapat turut memiliki saham atas perusahaan yang berinvestasi apapun di daerah tersebut. 

Ekonomi Rakyat, Ekonomi Pancasila

Rakyat hari ini, dengan istilah ekonomi kerakyatan ternyata hanya jadi obyek dari kebijakan ekonomi. Istilah ini hanya langengkan kemlaratan dan hegemoni terhadap rakyat. Ekonomi Indonesia yang menganut sistem Pancasila harusnya tunjukkan praktek ekonomi gotong royong itu dalam keseharian kita  Semua agar hidup bersama san kepentingan bersama bangsa ini tetap terjaga. Sebab tidak mungkin ada hidup bersama tanpa ada praktek keadilan dalam hidup kita sebagai bangsa. Kita harus hapuskan penindasan rakyat sampai ke akar akarnya dengan bangun san bangkitkan ekonomi rakyat.(*)

Sumber : https://wartakoperasi.net/ekonomi-rakyat-versus-ekonomi-kerakyatan-detail-448663