Penyusunan salary yang tidak fair, akan kontraproduktif dalam menciptakan tata kelola koperasi yang baik sebagai lembaga bisnis.
Distribusi gaji seharusnya tunduk kepada aturan penggajian yang berlaku dan mengedepankan prinsip fairness alias keadilan. Sayangnya, dalam praktiknya, kerap dijumpai ketidakadilan yang mencoreng wajah keadilan.
Sebut saja Farah yang menjadi resepsionis di Koperasi konsumen A. Farah lulusan SMA dengan job description di bidang layanan di bagian front office dengan masa kerja lima tahun.
Tugas-tugas Farah sebagian besar bersifat rutinitas yang tidak perlu menggunakan aktivitas kognitif alias proses berpikir. Dengan tugas yang sifatnya repetisi tanpa perlu inovasi, Farah digaji dari koperasinya sebesar Rp 5 juta.
Karyawan lain bernama Meta, lulusan S1, masa kerja lima tahun bekerja di tempat sama dengan bidang social media specialist dan media relation.
Cakupan kerja Meta meliputi membuat konten di social media, menyusun press release ke media, serta membuat artikel terkait aktivitas koperasinya.
Dalam menjalankan tugasnya, Meta dituntut berpikir kreatif, guna menghasilkan konten-konten berkualitas demi meningkatkan awareness anggota koperasi sebagai konsumen sekaligus owner koperasi.
Bidang pekerjaan Meta juga kerap menuntut dia bekerja di luar jam kerja tanpa adanya uang lembur.
Dengan job description yang tidak bisa bersifat default, alias tidak perlu banyak berpikir dalam menjalankan tugasnya seperti Farah, Meta digaji Rp 4 juta.
Ilustrasi di atas bisa menjadi refleksi distribusi gaji yang jauh dari asas fairness alias keadilan. Bidang pekerjaan yang bisa dilakukan oleh banyak orang, lebih bersifat service, di luar dugaan mendapat kompensasi gaji jauh lebih tinggi dibanding dengan yang bekerja menggunakan aktivitas kognitif.
Mengapa distribusi gaji tidak adil seperti di atas bisa terjadi? Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi besaran gaji melukai rasa keadilan.
1. Tidak Menggunakan Referensi
Penentuan gaji karyawan di koperasi konsumen A tidak menggunakan referensi yang jelas seperti Peraturan Mentri Ketenagakerjaan nomor 1 Tahun 2017.
Jika pihak koperasi menggunakan Permen Ketenagakerjaan, maka struktur dan skala gaji karyawan koperasi akan mempertimbangkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi.
2. Tidak Menggunakan KPI
Aplikasi KPI alias key performance index (KPI) menjadi metriks pengukuran kinerja karyawan secara obyektif. Karena pengukuran kinerja karyawan dilakukan by sistem.
Dengan menggunakan KPI, karyawan akan mendapatkan hak gajinya sesuai dengan kompetensi, pendidikan, lama kerja, dan jabatannya.
3. Politisasi Kantor
Koperasi di negeri ini sebagian dikelola mirip organisasi kemasyarakatan alias ormas. Dengan manajemen ala ormas, maka politisasi kantor pun menjadi sesuatu yang tak terelakkan.
Politisasi kantor, akan menguntungkan orang-orang yang pintar cari muka atasan. Dampaknya kepada besaran gaji adalah kelompok orang-orang yang tidak mau cari muka, akan mendapat gaji jauh dari standar yang ditetapkan.
4. Tidak adanya Sistem Kerja Baku
Ketika koperasi dikelola tanpa menggunakan sistem kerja yang jelas, tapi hanya berdasarkan kemauan atasan, penafsiran sebagian karyawan, maka distribusi gaji yang adil hanya impian.
Konsekuensinya, besaran gaji akan berdasarkan faktor like and dislike alias suka dan tidak suka dari orang-orang yang punya wewenang, tanpa melihat pendidikan, kompetensi, lama kerja sebagai konsideran.
Demikian faktor-faktor yang bisa mempengaruhi distribusi gaji berjalan tidak adil. Seperti kata Plato, berbuat adil itu lebih memalukan daripada menderita ketidakadilan.
"They say that to do injustice is, by nature, good; to suffer injustice, evil, but that the evil is greater than the good."-Plato-
(Susan/ilustrasi : Susan)
Sumber : https://wartakoperasi.net/distribusi-gaji-tidak-adil-kenali-faktor-penyebabnya-detail-445192