Oleh :
R. Nugroho M
Seiring dinamika yang dilakukan oleh gerakan koperasi untuk melakukan perubahan anggaran dasar (AD), telah terjadi kondisi disharmonisasi regulasi yang dihadapi oleh gerakan koperasi yang akan melakukan perubahan anggaran dasar (AD) di satu sisi, dan oleh pemerintah di sisi lain yang akan mengesahkan.
Ungkapan disharmonisasi ini terungkap dalam forum rapat anggota khusus (RAK) Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (GKPRI) Jawa Timur (Jatim) pada 12 April 2022.
Berdasarkan UU no 11/2020 tentang Cipta Kerja yang ditindaklanjuti dengan PP no 7/2021 tentang kemudahan, perlindungan, pemberdayaan koperasi dan UMKM, diatur dan diberikan ruang bagi koperasi untuk menentukan jenis usaha yaitu serba usaha dan tunggal usaha.
Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan tentang usaha koperasi ini, diatur secara jelas dan tegas dalam PP nomor 7/2021 bahwa usaha koperasi itu dalam praktek riil terdiri dari transaksi pelayanan dan transaksi bisnis.
Pembedaan nama transaksi di atas, tentunya bukan sekedar beda sebutan, tetapi ada makna yang berbeda sebagai ciri khas. Juga pembeda antara usaha yang dilakukan koperasi dengan usaha yang dilakukan pelaku usaha di luar koperasi.
Transaksi pelayanan adalah transaksi koperasi dengan anggotanya yang merupakan perwujudan nilai dan prinsip koperasi sebagai gerakan saling menolong , di mana dalam tata kelola usaha koperasi, tidak ada upaya mencari untung dari sesama anggota, atau koperasi tidak pernah mencari untung dari anggota sebagai pemiliknya.
Sedangkan transaksi bisnis koperasi adalah transaksi usaha koperasi dengan bukan anggota, yang dalam tata kelolanya berupaya mendapatkan keuntungan (profit oriented), sebagaimana yang dilakukan oleh para pelaku usaha di luar koperasi dalam usaha bisnisnya
Berangkat dari penalaran di atas, koperasi sebagai badan usaha otonom dan mandiri milik rakyat mempunyai kebebasan untuk memilih jenis atau bentuk usaha yang akan dilakukan sesuai kemampuan yang dimiliki , yang akan dituangkan dalam anggaran dasarnya.
Sedangkan ketentuan dalam Permenkumham no 14/2019 sebagai dasar pengesahan koperasi mengatur bahwa koperasi yang memohon pengesahan anggaran dasarnya harus menentukan jenis koperasi menjadi koperasi produsen, konsumen, pemasaran, jasa atau simpan pinjam.
Pembatasan jenis koperasi ini menjadi kendala ketika koperasi akan melakukan kegiatan usaha secara bersama. Yakni satu sisi sebagai konsumen di sisi lain sebagai produsen karena kemampuan koperasi. Juga melakukan kegiatan jasa.
Ketika koperasi memilih serba usaha yang berarti melakukan semua jenis usaha baik menjadi produsen sekaligus sebagai konsumen atau jasa, tidak akan mendapatkan perijinannya.
Ketentuan dalam UU Cipta Kerja dan PP nomor 7/2021 memang mengatur bahwa bahwa koperasi yang melakukan kegiatan serba usaha harus memiliki usaha inti. Tetapi ketentuan ini jelas tidak boleh membatasi ruang gerak koperasi untuk melakukan diversifikasi usahanya.
Kalau di satu sisi koperasi memilih usaha pemasaran sebuah produk sebagai usaha inti, tentunya tidak berarti bahwa koperasi tidak boleh melakukan usaha memproduksi produk tersebut sebagai usaha pendukungnya, sepanjang koperasi telah mampu melakukannya.
Dalam hal ini penulis mengingatkan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 28/2013 yang membatalkan UU 17/2012 tentang perkoperasian, menyatakan pendapatnya bahwa menjeniskan usaha koperasi berarti memasung kreativitas koperasi dalam pengembangan usahanya.
Ini fakta di lapangan tentang regulasi yang mengatur pengesahan anggaran dasar koperasi sebagai sebuah kondisi disharmonisasi yang akan menjadi kendala bagi koperasi untuk berkembang dan kendala bagi pemerintah untuk melindungi pengembangan koperasi.
Untuk itulah kita berharap agar pemerintah sebagai pemegang otoritas yang mengatur tata kehidupan koperasi, bisa akomodatif dengan kondisi disharmonisasi regulasi saat ini. Semoga.
Penulis adalah pengurus GKPRI Jawa Timur,
pegiat koperasi.
Sumber : https://wartakoperasi.net/disharmonisasi-regulasi-dalam-proses-perubahan-anggaran-dasar-koperasi-detail-442137