Oleh. Dr. Ahmad Subagyo[1]
Pengantar
Baru-baru ini gerakan koperasi dihebohkan dengan kasus "koperasi gagal" KSP Indosurya dengan nilai kerugian terbesar sepanjang sejarah, yaitu mencapai Rp 106 triliun. Bukan hanya angka kerugiannya yang fantastis, juga ribuan "anggota" yang menangis, melainkan dampak sistemik yang muncul di kalangan koperasi.
Koperasi “gagal” sangat tidak enak untuk di “dengar”, tapi nyatanya selalu ada, baik yang diberitakan lewat media maupun dipendam dalam-dalam hingga tak sampai ke telinga kita. Hampir tiap tahun selalu ada dan kebetulan yang sampai ke telinga kita hanya Koperasi yang beraset ratusan miliar, selebihnya yang beraset puluhan miliar tak sampai telinga kita. Kalau kita urut lima tahun ter-akhir berikut ini barangkali yang terdengar di telinga kita. Koperasi Langit Biru Tangerang, Koperasi Pandawa Depok, Koperasi Cipaganti Bandung, BMT CSI Cirebon, dengan kerugian di atas Rp. 1 triliun, Koperasi Pandawa Malang, BMT Global Insani Cirebon, BMT Nuruh Hikmah Jakarta, dengan kerugian ratusan miliar, dan tahun lalu kita mendengar ada Koperasi Koperasi Simpan Pinjam Hanson di Jakarta, ada BMT Amanah Ray di Sumatera Utara dengan kerugian simpanan anggota ratusan miliar yang belum terbayarkan. Barangkali itu yang sempat terdengar karena sempat terlintas di media. Lalu tahukah anda, tidak sedikit Koperasi gagal yang nilai asetnya puluhan miliar tersebar di beberapa daerah?
Hampir tiap tahun ada saja “koperasi gagal”, lalu kejadian demi kejadian yang merugikan masyarakat banyak ini, sebenarnya menjadi tanggung jawab siapa?
Tanggung Jawab Anggota-nya Sendiri
Koperasi ini selain sebagai badan hokum yang terdaftar di Kemenkumham, juga sebagai organinasi mandiri (self regulatory Organization-SRO) yang mengatur dirinya sendiri, karena para pemiliknya adalah anggota Koperasi dan mereka sendiri sebagai pengguna jasanya. Regulasi ini hanya berlaku untuk Koperasi Simpan Pinjam sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.
Barangkali kita hanya mengenal istilah ART (Anggaran Rumah Tangga) dalam organisasi Koperasi. ART ini lah yang mengatur “dirinya sendiri” tersebut. Siapa saja yang diperbolehkan menjadi “anggota koperasi”, pengaturan pengambilan keputusan, pengaturan keanggotaan, pengaturan pembagian SHU, pengaturan struktur kepengurusan, pengaturan pendanaan, pengaturan penyaluran dana, dan pengaturan lainnya yang menyangkut keorganisasian dan pertanggung-jawaban. Mungkin selama ini kita sudah tidak peduli dengan dokumen yang kita kenal dengan “ART” ini. Bahkan dalam pemeriksaan baik internal maupun eksternal Koperasi, dokumen ini sudah tak tersentuh lagi.
Pengaturan organisasi yang ditulis dan diterbitkan dalam bentuk ANGGARAN DASAR (AD), hanyalah aturan-aturan pokok saja, yang perlu diturunkan dan dijelaskan dalam peraturan turunan yang kita sebut dengan Anggaran Rumah tangga (ART). Kalau mau di-challenge, silakan dikoreksi dan di-ungkap kembali , hamper semua Koperasi “gagal” dapat dipastikan tidak memiliki Anggaran Rumah Tangga (ART). Kalaupun ada, hanya pelengkap untuk mendapatkan hasil Penilaian Kesehatan (PENKES). Mereka tidak punya ART karena hanya dikendalikan dan dimiliki oleh dua atau tiga orang saja. Buktinya yang ditangkap, diadili dan di-penjara hanya dua sampai tiga orang saja maksimal. Tidak semua pengurus di-tangkap dan di-penjara karena pelaku pengurasan uang masyarakat ini hanya segelintir orang saja.
Namun sangat ironis, kejadian demi kejadian terus muncul tiap tahun tanpa terkendali
Kita tidak memiliki instrumen EARLY WARNING SYSTEM untuk mendeteksi Koperasi yang menuju pada “kegagalan”. Kita dapat membayangkan, bagaimana mungkin terjadi Lembaga Pemerintah (PIP) memberikan pembiayaan kepada satu BMT besar di Medan-Sumut dengan dana puluhan miliar, tiba-tiba beberapa bulan kemudian BMT-nya colaps (bangkrut). Banyak pertanyaan, katanya hasil Penkes-nya “SEHAT”, Laporan keuangan-nya bagus, dan telah berdiri sepuluh tahun lebih, tiba-tiba dalam hitungan bulan, bisa bangkrut?
Nah, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah saat Koperasi ini bangkrut, lalu adakah langkah-langkah yang sistematis dan terstruktur dilakukan oleh regulator dalam menangani kasus ini? Pada umumnya di-tangani oleh pihak pengadilan dalam proses litigasi. Hal ini wajar karena kita tidak memiliki RESOLUTION AND CRISIS MANAGEMENT FRAMEWORK, seperti halnya yang di-miliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam handing problem di Lembaga Keuangan yang bermasalah. Bahkan dalam RCM Framework ini diuraikan bagaimana melakukan mitigasi risiko atas kegagalan Lembaga keuangan, artinya sebelum suatu LK “gagal” langkah-langkah dan upaya yang dilakukan oleh Otoritas (OJK) sudah digariskan dan ditentukan, seperti pemberian bantuan likuiditas, memblokir aliran kas keluar para pejabat-nya, dan seterusnya. Sehingga kerugian bahkan kegagalan dapat di-antisipasi di-cegah dan di-minimalisir.
Lalu kembali pada pertanyaan, ini tanggung jawab siapa?
Adakah sepenuhnya ini tanggung jawab anggota-nya sendiri yang naruh dananya di Koperasi, lalu di mana tanggung jawab Pemerintah?
Untuk menjawab pertanyaan ini memerlukan penjelasan Panjang, pastinya dan akan terjadi debatable, namun dalam konteks ini kita akan kembalikan pada amanat Undang-Undang Koperasi yang masih berlaku saat ini, yaitu UU No. 25 tahun 1992.
Tanggung Jawab Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini adalah kementerian Koperasi dan UKM sesuai amanat UU adalah melakukan pembinaan terhadap Koperasi (Bab XII pasal 60-63). Sehingga pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) dilakukan dalam rangka pembinaan. Namun , sesuai dengan perkembangan Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) upaya pembinaan ditingkatkan melalui pengawasan (Bab VI Pasal 24) dan dilakukan pengaturan pelaksanaannya. Perhatian Pemerintah semakin meningkat dalam merespon perkembangan usaha simpan pinjam yang terus meningkat melalui pembentukan Deputi Pengawasan berdasarkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 17 tentang Pengawasan Koperasi.
Peraturan pelaksanaan terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPSS) telah banyak dihasilkan oleh Pemerintah, namun masih terasa lemah dalam pelaksanaan dan penegakan penerapannya. Sangat bisa dipahami, bagaimana sulitnya mengendalikan Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) dan USP/USPPS yang jumlahnya tercatat lebih dari 79.000 di seluruh Indonesia. Dalam regulasinya , saat ini memang terbagi pada tiga level pemerintahan, Koperasi nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat (Kemenkop-UKM), Koperasi lintas kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Koperasi lintas Kecamatan dalam kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota.
Ke Depan, dengan adanya aturan baru terkait dengan OSS (Online Single Submission) tidak ada lagi Koperasi nasional, koperasi provinsi dan koperasi kabupaten/kota, karena proses legalisasi melalui system online yang dapat dilakukan oleh notaris terdaftar di seluruh Indonesia. sehingga akan berpengaruh terhadap pola dan skema pengawasannya. Ke depan diperlukan instrument pengawasan yang tidak lagi bergantung pada pemeriksaan on site, tapi pengawasan off site menjadi keniscayaan yaitu melalui teknologi digital.
Lalu, bagaimana proses penanganan Koperasi gagal?
Membangun Infrastruktur Pengawasan
Pemerintah dalam hal ini Kemenkop dan UKM, tidak mungkin sendirian dalam melakukan pengendalian dan memitigasi risiko kegagalan Koperasi. Kerjasama pihak-pihak terkait sangat diperlukan menjadi kunci sukses keberhasilan HANDLING Pembinaan terhadap keberlangsungan Koperasi yang menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia, terutama Pemerintah sesuai amanah Undang-Undang.
Pengawasan Koperasi akan efektif jika di-dukung oleh Infrastruktur kelembagaan dan regulasi yang memadahi dengan disertai adanya insentif atas prestasi dan disinsentif terhadap adanya pelanggaran terhadap kepatuhan. Pekerjaan membangun infrastruktur ini bukanlah hal yang mudah tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin. Jika komitmen dari Pemerintah kuat dan didukung oleh Gerakan koperasi , maka penguatan terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) akan dapat dilakukan dan pencegahan terhadap adanya pelanggaran dan kegagalan dapat dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Membangun infrastruktur kelembagaan dalam konteks penguatan pengawasan Koperasi memerlukan waktu yang Panjang, namun dalam jangka pendek ada yang dapat dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM selaku pemangku kepentingan.
Ada lima (5) program jangka pendek yang dapat dipersiapkan, antara lain:
(1) Pelaporan berbasis online (digital)
(2) Peningkatan efektivitas jabatan fungsional Pengawas
(3) Integrasi system pengawasan (pusat-daerah)
(4) Pembaharuan instrument pengawasan
(5) Optimalisasi proses penilaian kesehatan beserta dengan hasilnya.
Pengawasan berjenjang
Pemerintah akan kesulitan melakukan pengawasan sendiri, salah satu infrastruktur yang tersedia adalah Koperasi Sekundere. Koperasi sekunder dapat berfungsi sebagai layer pertama dalam proses pengawasan, selanjutnya Asosiasi dan Gerakan Koperasi (Dekopinda/Dekopinwil/Dekopin) menjadi layer kedua, dan Pemerintah Daerah/Pusat menjadi layer ketiga. Layer ini bukanlah urutan, layer pertama dan kedua adalah pengawasan masyarakat sendiri terhadap Koperasi yang ada di tengah-tengah mereka, sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap Gerakan membudayakan koperasi dan menguatkan Koperasi sebagai bagian dari implementasi UUD pasal 33.
Selama ini Koperasi sekunder/Asosiasi dan Gerakan Koperasi absen dalam proses pengawasan terhadap Koperasi (KSP/KSPPS). Padahal mereka adalah bagian penting dalam Gerakan perkoperasian kita. Komitmen seluruh anak bangsa menjadi bagian penting dalam penguatan Koperasi di masa yang akan datang.
Pendirian Koperasi Jasa Audit (KJA) dan revitalisasi KJA menjadi salah satu kebutuhan dalam melengkapi infrastruktur kelembagaan mandiri yang di-bangun oleh masyarakat. Layanan penguatan dalam pendampingan penguatan tata-kelola dan kepatuhan menjadi bagian dari Gerakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat.
Penutup
Koperasi gagal harus dapat dikendalikan, di-eliminir kuatitasnya, mitigasi harus dapat dilakukan sedini mungkin, baik oleh Gerakan Koperasi itu sendiri maupun Pemerintah. (/Pr)
[1] Ketua Umum Indonesia Microfinance Expert Association (IMFEA), anggota Dewan Pengawas PINBUK Pusat.