Resep Factory Sharing agar Produk Koperasi dan UKM Bersaing

Kementerian Koperasi dan UKM merencanakan proyek Factory Sharing. Sebuah gagasan yang cukup responsif. Kurangnya daya saing sebagian produk usaha kecil dan menengah sebagai dampak proses produksi yang sederhana dan tidak efisien, dinilai perlu pabrik yang dikelola dan dimiliki secara kolektif untuk memastikan proses produksi yang modern dan berdaya saing.Diperlukan kelembagaan dan regulasi pendukung yang memastikan sektor penopang non produksi (distribusi dan pemasaran) juga dapat bersaing.  Gap lebar antara UMKM dengan industri besar dalam dalam produksi, di luar tantangan digital marketing, jadi keprihatinan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Tahun 2022 ini, Kementerian Koperasi berencana membangun factory sharing atau tempat produksi bersama. Pabrik dengan teknologi modern agar hasil produksi UMKM sejajar dengan produk industry besar. Ada lima piloting factory sharing yang siap dibangun. Teten mengaku sudah berbicara dengan beberapa kepala daerah terkait hal itu. Berencana klasifikasikan per klaster lanjut dibangun tempat produksinya. 


Mengutip Deputi Bidang Pembiayaan Kemenkop UKM Hanung Harimba Rachman, lima piloting factory sharing yang bakal dibangun meliputi tempat produksi minyak atsiri di Aceh, produk kelapa dan turunannya termasuk fiber coco di Sulawesi Utara, di Jawa Tengah untuk mebel, daging sapi di Nusa Tenggara Timur, serta biofarmaka atau tanaman obat-obatan di Kalimantan Timur. Diharapkan, pengelolaan factory sharing nantinya berbentuk koperasi dengan pembiayaannya dari LPDB (Lembaga Pengelola Dana Bergulir) dan fasilitasnya dibangun pemerintah. Pihaknya saat ini tengah mengebut pembentukan kelembagaannya. Kelembagaan dinilai penting, karena factory sharing juga menyangkut pendampingan. Dari lima piloting factory sharing, diharapkan bisa direplikasi daerah lain.

 

Pentingnya Aspek Kelembagaan

 

Gagasan Kementerian Koperasi mengembangkan pabrik bersama (factory sharing) berbasis koperasi layak didukung. Memang bukan hal baru, sudah banyak factory sharing yang dibangun oleh produsen skala rumah tangga yang dimodali secara kolektif dan dikelola secara demokratis. Dengan kata lain, ada inisiatif mandiri dari masyarakat pelaku factory sharing alih-alih disponsori oleh pemerintah.

 

“Idealnya pengembangan proyek semacam ini memang dibangun sendiri oleh masyarakat, dan merupakan jawaban atas kebutuhan riil mereka sendiri, bukan inisiatif Pemerintah. Biasanya yang dibangun pemerintah itu mudah sekali hancur karena pra-syarat kelembagaan koperasi pengelolanya itu tidak dilihat secara mendalam. Hanya dilihat syarat administrasinya saja,” papar praktisi perkoperasian Suroto dalam rilis tulisannya, Jumat (4/3) lalu. 

 

Masih menurut Ketua Akses itu, Admimistrasi juga penting karena menyangkut legalitas proyek. Tapi lebih penting keberlanjutan dari proyek tersebut. Kalau targetnya hanya kembangkan output proyek serta serapan anggaran maka umurnya biasanya tidak akan lama. Apalagi ditambah embel embel vested interest politik, maka semakin rusak. 

 

Bantuan pemerintah berupa pengembangan pabrik bersama dari dulu dikembangkan oleh pemerintah tapi selalu gagal. Sebut misalnya bantuan mesin penggilingan padi dan kemudian pengolahan minyak atsiri, dan banyak sekali. Skalanya malah masif. 

 

Proyek proyek yang diinisiasi oleh pemerintah itu baiknya hanya pilot project agar dapat dicontoh.  Dikarenakan pilot project maka kelembagaan koperasinya memang harus diperhatikan serius. 

 

Kegagalan semua model proyek bantuan pemerintah itu gagal karena gagal membangun organisasinya. Ini aksiomatik, jika organisasinya salah maka investasi apapun akan salah. Ini disebut prinsip kerja subsidiaritas koperasi, yaitu apa apa yang tidak bisa diusahakan sendiri maka dilakukan bersama di koperasi. Tapi kuncinya adalah kebutuhan riil anggota. 

 

“Pengembangan pilot project itu idealmya  diriset dulu basis kebutuhan riilnya. Kemudian dari hasil riset aksi tersebut dipetakan potensi dan masalah yang akan dihadapi. Lalu baru dieksekusi. Contohnya di Semarang, saya melihat ada satu kampung yang isinya adalah para produsen bandeng presto. Skalanya rumahan dan volumenya skala individu perajin terlalu kecil. Tapi  kalau dihitung secara agregat satu kampung cukup besar”. 

 

Masalah mereka soal kendala ekspansi usaha juga sama, yaitu soal misalnya soal persyaratan standard kendali mutu dan perizinan, kemasan, jaringan pasar dan termasuk soal permodalan. Namun inisiatif untuk memulai membangun pabrik bersama tidak ada. Ini masalah kebiasaan yang mana mereka biasa hidup dan kembangkan sendiri. 

 

Dalam situasi masyarakat seperti ini maka baiknya pemerintah banyak memberikan pengertian kepada mereka tentang arti penting dari kelembagaan koperasi. Dalam situasi tertentu kalau perlu pemerintah juga turut mengambil bagian ikut penyertaan modal sampai kelembagaanya benar benar mapan lalu baru mundur dan kembangkan koperasi model lagi di daerah yang memiliki karakter masyarakat yang sama. 

 

Selama ini target pasar mereka itu kelas menengah ke bawah dan warung warung rakyat seperti Warteg, Warung Padang, dan konsumen langsung yang dijual melalui pedagang sayur keliling.Mereka sebetulnya ingin sekali masuk ke segmen menengah ke atas karena di segmen ini marjin keuntunganya tinggi. Namun kendalanya ketika ingin memasuki segmen ini, salah satunya terkendala masalah persyaratan dapur yang musti terpisah dan berstandard sanitasi tinggi. Maka kebutuhan dapur atau pabrik bersama ini menjadi penting. “Menanggapi model dapur bersama yang dikembangkan oleh perusahaan basis aplikasi untuk usaha kuliner skala mikro itu boleh boleh saja. Asal jangan hanya jadi alat untuk merampok uang negara seperti dalam proyek penangulangan krisis akibat pandemi saat ini”. 

 

Pilot model factory sharing basis koperasi ini bukan hanya soal layanan kebutuhan akan rumah produksi bersamanya, tapi bagaimana sistem pengelolaanya dapat dikembangkan secara adil, transparan, dimiliki dan dikontrol secara demokratis sehingga lebih berkelanjutan dan berdampak luas manfaatnya. Lebih penting lagi sebetulnya yang perlu dilakukan oleh pemerintah itu adalah membangun ekosistem koperasi agar masyarakat mampu memunculkan inisiatif sendiri untuk membangun koperasinya. Seperti misalnya soal produksi pengetahuan koperasi, hapus semua regulasi dan kebijakan diskriminatif terhadap koperasi,  pembersihan citra koperasi secara serius, dan lain lain. Syukur dalam bentuk kebijakan trade off untuk dorong motivasi bisnis bagi produsen usaha mikro dan kecil. 

 

Dihubungi terpisah, pegiat koperasi peternak Dedi Fadhouli berujar, jika Kementerian Koperasi serius mengembangkan factory sharing, mereka tak perlu membangun klaster baru. “Dampingi saja koperasi-koperasi produktif yang banyak didapati di daerah. “Koperasi peternak sapi perah, misalnya, bisa mengembangkan factory sharing dengan pelaku industry olahan susu, pengolahan pakan, dan seterusnya,”papar Dedi kepada Warta Koperasi melalui perpesanan singkat, Kamis (10/3).  

 

“Bisa juga dengan membantu mendorong sekunderisasi koperasi primer. Koperasi-koperasi produktif difasilitasi untuk bergabung membentuk sekunder. Dengan begitu secara kelembagaan akan kuat. Jika sudah begitu, factory sharing hanya soal teknis,” imbuh Dedi. / PRIONO

Kategori
NASIONAL

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar