Meneguhkan Koperasi diantara Shadow Banking dan Shadow Economy

Meneguhkan Koperasi diantara Shadow Banking dan Shadow Economy

926x1280

Oleh : Prof Dr Agustitin Setyobudi


img-1592202810.jpg

            Diawali dengan rilis 57 unit koperasi yang dianggap memiliki transaksi elektronik menyimpang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dua pekan lalu, dunia koperasi kembali “bergeliat”. Pro dan kontra segera saja mengemuka.

            Sejumlah entitas koperasi segera saja melayangkan gugatan, mereka menilai tuduhan OJK prematur. Ternyata, sebagian transaksi menyimpang yang dilakukan oleh sejumlah koperasi seperti tuduhan OJK, dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab yang mendompleng nama koperasi tersebut. Belakangan OJK dan Kementerian Koperasi dan UKM memutuskan merehabilitasi sebagian dari limapuluhan koperasi itu.

            Belum reda kasus rilis koperasi berpraktek menyimpang oleh OJK, Pernyataan Staf Khusus Menteri Bidang Hukum, Pengawasan Koperasi dan Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, Agus Santoso, tentang berkembangnya shadow banking di lingkungan koperasi, kembali memantik polemik.

            Sebenarnya, apabila dicermati, pernyataan tersebut lebih merupakan  sebentuk kehati-hatian dan kepeduliannya terhadap keberlangsungan praksis koperasi yang sehat. Terlebih di masa pandemi dan ekonomi melemah seperti sekarang.

               Pernyataan staf khusus menteri di atas bukan bermaksud menuduh bahwa koperasi telah melakukan praktik shadow banking. Melainkan lebih bersifat mengharapkan kepada insan KOPERASI agar jangan sampai melakukan praktik semacam itu. Pernyataan tersebut nampaknya ditujukan khusus bagi pelaku koperasi yang masih belum memahami nilai-nilai koperasi secara utuh.

                Kenyataannya, saat ini masih banyak pelaku koperasi hanya melihat koperasi sebagai bisnis dan atau melakukan bisnis dengan kendaraan KOPERASI, tetapi tidak melengkapi diri dengan pemahaman tentang jati diri koperasi.

          Shadow banking menggambarkan aktivitas penghimpunan dana, investasi dan simpan pinjaman, tetapi dengan kecenderungan motif menghindari regulasi dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Praktek ini juga  sejatinya merupakan pelanggaran terhadap UU Koperasi. Menjadi suatu keharusan bagi pelaku koperasiuntuk mematuhi aturan dan disiplin bertransaksi dengan anggotanya.

            Praktik-praktik koperasi semacam itu memang banyak dilakukan oleh oknum yang ingin mengambil keuntungan melalui kendaraan koperasi. Dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencatut nama koperasi sebagaimana yang temuan tim waspada investai OJK. Hampir seluruh yang terindikasi menyimpang adalah bukan koperasi, tetapi mereka menggunakan nama koperasi.

            Kegiatan yang termasuk shadow banking diantaranya bank investasi, pemberi pinjaman hipotek, dana pasar uang, perusahaan asuransi, dana lindung nilai, dana ekuitas swasta dan pemberi pinjaman bayaran, yang semuanya merupakan sumber kredit yang signifikan dan terus tumbuh dalam kegiatan perekonomian.

                Shadow banking juga sering disebut sebagai perbankan bawah tanah. Produk dan jaga institusi shadow banking sarat terhadap risiko untuk konsumen dan juga bisa berdampak sistemik terhadap perekonomian negara.

                Di Indonesia sendiri, menurut lembaga resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), praktik shadow banking sejauh ini masih sah-sah saja. Keberadaan shadow banking di tanah air dari segi izin memang bukan bank, namun lembaga-lembaga tersebut masih diperbolehkan mengelola dan menyalurkan dana ke masyarakat, seperti perbankan.

             Kendati demikian, dari pihak Bank Indonesia (BI), keberadaan shadow banking di Indonesia begitu mengkhawatirkan. Shadow banking kerap menawarkan syarat yang lebih mudah untuk peminjaman jika dibandingkan dengan perbankan.

            Meskipun, tingkat pengawasan lebih tinggi terhadap lembaga shadow banking setelah krisis keuangan, sektor ini telah tumbuh secara signifikan. Pada bulan Mei 2017, Dewan Stabilitas Keuangan yang berbasis di Swiss merilis sebuah laporan yang merinci tingkat pembiayaan non-bank global.

            Dewan menemukan bahwa aset keuangan non-bank telah meningkat menjadi US$92 triliun pada 2015 dari US$89 triliun pada 2014. Ukuran yang lebih sempit dalam laporan, yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas shadow banking yang dapat meningkatkan risiko stabilitas keuangan, tumbuh menjadi US$34 triliun pada tahun 2015, naik 3,2% dari tahun sebelumnya dan tidak termasuk data dari Tiongkok.

            Bahkan, belakangan ini marak koperasi gagal bayar. Terakhir adalah kasus KSP Indosurya dengan kerugian ratusan miliar rupiah. Usut punya usut, mayoritas menawarkan imbal hasil tinggi. Lebih parah, koperasi agresif menawarkan penghimpunan dana ke masyarakat umum yang bukan anggota. Koperasi-kopeasi itu berpraktik selayaknya bank. Mereka bisa disebut shadow banking. Bukan bank, tapi berpraktik ala perbankan. 

            Praktik shadow banking di dalam koperasi, memiliki ciri-ciri anatara lain : menghimpun dana masyarakat dengan menggunakan kendaraan koperasi simpan pinjam. Janji bunga tinggi, bahkan lebih tinggi dari bunga bank sebagai pemanisnya (gimmick)

            Namun demikian, masih juga banyak nasabah yang tertarik memakai dana mereka pada skema investasi. Dan menjadi terkesima, sebab satu koperasi bisa menghimpun dana hingga triliunan rupiah.

Shadow Economy

            HASIL laporan terbaru Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) baru-baru ini mencatat tax ratio Indonesia menjadi yang paling rendah di Kawasan Asia Pasifik, yaitu 11,5%. Hal itu termuat dalam Laporan edisi keenam Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies yang memaparkan survei terhadap 17 negara.

            OECD menilai beberapa penyebab rendahnya tax ratio di Indonesia antara lain besarnya porsi tenaga kerja informal yang mencapai 57,6% dari total tenaga kerja (shadow economy), masih banyaknya penghindaran pajak, dan masih sempitnya basis pajak.

            Tingginya shadow economy di Indonesia masih menjadi hambatan dalam mendongkrak penerimaan pajak. Sektor ini sulit untuk terjangkau oleh otoritas pajak yang menyebabkan masih banyaknya potensi penerimaan pajak yang belum tergali optimal. Di banyak negara, komponen terbesar dari total tax gap pun berasal dari aktivitas shadow economy.

            Banyak di antara para individu dalam aktivitas shadow economy ini yang tidak terdaftar sebagai wajib pajak, sehingga memperlebar jarak antara jumlah wajib pajak yang terdaftar dan yang potensial terdaftar.

            Di samping itu, beberapa analisis kebijakan publik berpendapat bahwa keberadaan aktivitas shadow economy ini berdampak signifikan pada perekonomian suatu negara, tingkat penerimaan pajak di negara tersebut, efisiensi dalam alokasi penerimaan dan distribusi penghasilan.

            Fenomena shadow economy telah menarik perhatian para akademisi dan organisasi internasional sejak tahun 1970-an (Tanzi, 2012). Beberapa terminologi yang sering dipersamakan dengan shadow economy adalah underground economy, hidden economy, gray economy, black economy, informal economy, cash economy, dan unobserved economy.

            Persoalan yang timbul dalam mengukur seberapa besar dampak fenomena ini terletak pada definisinya. Definisi yang digunakan oleh banyak peneliti di bidang ini bervariasi antara satu dengan yang lainnya dan sangat bergantung pada metode atau indikator yang digunakan.

            Definisi yang umum digunakan adalah definisi yang diberikan oleh Schneider dan Enste (2000). Menurutnya, shadow economy dapat diartikan sebagai semua aktivitas ekonomi yang berkontribusi terhadap perhitungan Produk Nasional Bruto maupun Produk Domestik Bruto tetapi aktivitas tersebut sama sekali tidak terdaftar.

            OECD menggunakan istilah non-observed economy untuk menjelaskan fenomena ini, dan membaginya ke dalam empat jenis aktivitas, yaitu : Produksi bawah tanah (underground production) : aktivitas produktif yang bersifat legal, tetapi sengaja disembunyikan dari otoritas publik dengan tujuan mengelak dari pajak dan peraturan lainnya.

            Produksi ilegal (illegal production) : aktivitas produktif yang menghasilkan barang dan jasa yang dilarang oleh hukum.Produksi sektor informal (informal sector production) : aktivitas produktif yang legal yang menghasilkan barang dan jasa dalam skala produksi kecil yang umumnya dilakukan oleh usaha rumah tangga yang tidak berbadan hukum. Produksi rumah tangga untuk digunakan sendiri (production of households for own final use).

            Mirus dan Smith (1997) membedakan tipe shadow economy berdasarkan karakter hukumnya yaitu, legal atau ilegal, yang perbedaannya ditunjukkan dalam tabel berikut. Alasan moneter yang dimaksud adalah menghindari pembayaran pajak dan semua kontribusi jaminan sosial.

*) Ketua Umum IKP-RI, Guru Besar Ekonomi Indonesia dan Koperasi

Sumber : http://wartakoperasi.net/meneguhkan-koperasi-diantara-shadow-banking-dan-shadow-economy-detail-427268