Melawan Welfare State

Melawan Welfare State


Oleh : Suroto, Penjaga Toko


Pada tanggal 12 Januari 2023 ( 12/1) lalu Blok Politik Pelajar ( BPP) dan LSM LOKATARU  mengadakan debat terbuka antara penulis dengan perwakilan Partai Buruh yang disiarkan secara langsung oleh Channel Indoprogress TV. Dalam debat, Partai Buruh diwakili oleh saudara M. Ridho, staf khusus ideologi dari Partai Buruh. 

Debat menyoal tulisan pendek penulis versi status sosial media dengan judul " Matinya Perjuangan Kepentingan Buruh". Dimana inti isi tulisan tersebut berisi kritik penulis terhadap Partai Buruh yang menaruh slogan di benderanya " Negara Kesejahteraan", kadang ditulis " Welfare State", yang bercita cita mewujudkan konsep negara kesejahteraan. 

Penulis sangat prihatin, bagaimana Partai Buruh kita itu secara lengah dan gegabah langsung saja menerima konsep Welfare State atau Negara Kesejahteraan, sistem yang tidak cocok untuk Indonesia dan visi perjuangan buruh sejati. Selain tentu bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.  

Dalam tulisan tersebut, penulis menganggap bahwa  sistem Negara Kesejahteraan itu  adalah sistem neo - kapitalisme yang intinya tidak sesuai dengan basis sosio-kultural historis bangsa Indonesia dan tidak sesuai dengan Konstitusi kita yang menganut sistem demokrasi ekonomi. 

Konsep negara kesejahteraan awalnya dipromosikan oleh Paus Leo XIII dengan ensikliknya yang terkenal " Rerum Novarum" ( Revolusi Baru) yang intinya mendorong agar negara mengambil peran aktif untuk melakukan promosi sosial kepada warganya agar terbebas dari penderitaan akibat perangai sistem kapitalisme yang sangat parah.  Hal mana akhirnya menjadi dasar lahirnya  Ajaran Sosial Gereja. 

Esping Anderson ( 1990) menyebut negara kesejahteraan itu konsep yang mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisir perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dalam tingkat tertentu bagi warganya.

Pada intinya konsep negara kesejahteraan itu mengusulkan peranan negara sebagai instrumen kontrol sosial dan promotor  umum yang diterjemahkan dalam program program riil seperti : jaminan sosial, pendidikan murah / gratis, pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan lain lain. 

Secara sosio historis, konsep negara kesejahteran memang cocok untuk negara Eropa dan terutama Eropa Barat. Negara Eropa pada masa  itu memang sedang mengalami revolusi  industri  dan liberalisme yang kemudian menghasilkan residu kemanusiaan dan konflik domestik antara buruh ( proletar) dan pemilik pabrik ( borjuis). Lalu ditawarkanlah konsep Negara Kesejahteraan sebagai solusinya. 

Dalam konteks Indonesia tentu  berbeda dan kita tidak dapat mengadopsinya begitu saja. Kita mewarisi kesenjangan struktural akibat warisan kolonialisme dari negara negara negara Eropa. Kondisi kesenjangan struktural yang terjadi pada saat Indonesia dijajah Kolonial Hindia Belanda masih sama sampai hari ini. 

Kondisinya saat ini bahkan ditambah lebih buruk karena terjadinya kerusakan  lingkungan yang masif. Sebut saja misalnya pembabatan hutan (deforestrasi) yang terjadi dalam tiga dekade terakhir sebagai yang tercepat di dunia. 

Dualisme ekonomi yang diungkap oleh J.H Boeke juga masih sama. Struktur sosial ekonomi kita yang  terdiri  dari deret kemakmuran segelintir elit di atas dan rakyat miskin dan tepat di garis miskin lebih banyak masih menjadi gambaran fakta hari ini. 

Menurut laporan Suissie Credit tahun 2021, lembaga riset ini melaporkan bahwa orang dewasa di Indonesia itu 83 persennya hanya punya kekayaan rata rata di bawah Rp 150 juta rupiah. Sementara rata-rata dunia adalah hanya 58 persen. Orang dewasa Indonesia yang kekayaanya di atau Rp 1,5 Milyar  jumlahnya hanya 1,1 persen. Sementara rata-rata dunia adalah 10,6 persen. 

Rasio Gini Kekayaan kita menurut laporan Suissie Credit adalah 0,77 dari skala 0 - 1. Dimana angka nol artinya semua kekayaannya sama rata dan angka satu itu ada di tangan satu orang. 

Lembaga Oxfarm tahun 2020 bahkan membuat laporan yang cukup dramatis.  Kekayaan 4 anggota keluarga konglomerat kapitalis di Indonesia itu sama dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin. 

Ditinjau dari struktur pekak ekonomi rakyat kita masih sama. Dari total pelaku usaha yang ada, 99,6 persennya atau 64 juta adalah kelas usaha mikro. Sisanya adalah usaha kecil sebesar 138 ribu atau 0,35 persen dan usaha menengah sebesar 80,2 ribu atau 0,05 persen dan usaha besar sebanyak 5.600  atau 0,0006 persen (Kemenkop dan UKM, 2021). 

Usaha mikro yang ada adalah terdiri dari usaha gurem yang hidup segan mati sungkan. Jumlahnya hampir sama dengan jumlah kepala keluarga kita yang 67 juta. Dimana mereka dirikan usaha karena motivasi untuk sekedar bertahan hidup bukan menjadi wirausaha kaya raya seperti anak anak konlomerat.

Mereka, rakyat kecil pun harus bersaing berdarah darah dengan sanak saudaranya memperebutkan kue ekonomi sisa remah remah usaha menengah dan besar. Sementara Posisi usaha menengah nya pun banyak didominasi oleh perusahaan quasi milik jaringan keluarga konglomerat atau anak anak perusahaan konglomerat besar. 

Kita butuh transformasi struktural melalui jalan demokratisasi ekonomi, bukan mengadopsi sistem negara kesejahteraan. Sebab masalah utamanya adalah karena adanya konsentrasi  kepemilikan, bukan soal alokasi fiskal untuk promosi sosial warga semata. 

Apalagi jika sumber fiskal kita itu ditopang oleh utang. Dimana posisi utang kita itu sudah cukup parah karena kemampuan membayar utangnya yang rendah dan memberatkan fiskal kita.

Posisi utang kita menurut Ekonom Awalil Rizky ( 2022) adalah sudah dalam posisi gali lobang buat jurang karena untuk membayar angsuran dan bunganya harus dibayar dengan utang. Sehingga  disimulasikan, dengan kondisi fiskal yang ada saat ini diperkirakan pemerintah hingga tahun 2024 akan mewariskan utang sebesarnya Rp 10.000 trilyun. 

Kondisi tersebut tentu bukan hanya akan menjebak generasi mendatang dengan ruang fiskal yang semakin sempit untuk mengalokasikan dana pembangunan, tapi kita akan benar-benar masuk dalam jebakan besar negara-negara global utara itu. Kita akan jadi sandera dan bulan-bulanan mereka dan jadi bangsa bayang-bayang selamanya. 

Tanpa transformasi sosial ekonomi melalui jalan demokrasi ekonomi, sumber kekuasaan politik yang mempengaruhi kebijakan negara juga tidak akan berubah. Kuasa ekonomi akhirnya hanya berputar putar pada segelintir orang.  Fakta ini juga diperkuat oleh hasil riset bahwa 87 keluarga miskin tidak mengalami perubahan nasib ( Smeru, 2019). Keluarga miskin dalam posisi hasilkan kemiskinan  baru dan terus berkelanjutan.  

Mereka dapat terus mengatur dan mengontrol kekuasaan dan  akhirnya monopoli bisnis di segala sektor. Fakta ini dapat kita lihat secara gamblang bagaimana keputusan keputusan negara itu dasarnya pada kepentingan konglomerat segelintir. Apa yang baik untuk pengusaha besar dianggap baik untuk negara dan masyarakat. 

Jika tidak dilakukan transformasi melalui jalan demokratisasi ekonomi dan hanya kembangkan konsep negara kesejahteraan maka sumber kekuasaan penting yang dipengaruhi oleh penguasaan asset nasional oleh elit kaya nasional yang berjejaring dengan elit kaya global dan  berpatron dengan elit politik nasional maka wadagnya akan panggah. 

Negara negara global utara itu juga paham betul bahwa jika sumber fiskal untuk membiayai semua program promosi sosial negara kesejahteraan itu sumbernya adalah dua : pajak dan utang. Jika pajak tidak tercapai atau rendah maka seluruh biaya itu akan dibebankan kepada sumber utang.

Partai Buruh, yang semestinya menjadi partai progresif tentu harus berbeda dengan sikap Partai Golkar misalnya yang sudah terang terangan memperjuangkan tercapainya negara kesejahteraan (welfare state). 

Partai Buruh juga semestinya belajar dari sejarah amandemen UUD 1945  tentang pasal pasal ekonomi yang berakhir dengan keluarnya almarhum Profesor  Mubyarto dan Almarhum Prof Dawam Rahardjo karena kecewa terhadap anggota tim lainya seperti Sri Mulyani, Sri Adiningsih yang ngotot menganggap UUD 1945 itu interpretasinya sebagai negara kesejahteraan. Bukan demokrasi ekonomi. 

Negara kesejahteraan itu adalah bagi negara negara miskin dan berkembang ibarat buaian mimpi yang sengaja dihembuskan oleh negara negara global utara untuk dua tujuan utama. Kita dijebak untuk menaiki atap capaian kemajuan sosial ekonomi mereka dengan resep mereka. 

Negara  negara global utara yang telah berhasil mengeksploitasi negara selatan termasuk Indonesia di waktu diterapkanya liberalisme ekonomi sejak 1980 an, ingin bebankan kepada fiskal kita seluruhnya untuk selesaikan segala bentuk residu kemanusiaan dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi mereka kepada kita. Mereka tidak mau rugi.  

Negara negara global utara sebagai pemberi utang melalui organisasi multilateralnya semacam International Monetary Fund ( IMF), Bank Dunia (Wold Bank)  itu memiliki maksud yang kuat untuk tetap dapat kendalikan negara negara global selatan. Mereka akan menyuntikan utang disaat kita dilanda krisis ekonomi atau menjebak utang haram dengan komitmen untuk membangun infrastruktur yang sebetulnya adalah menjadi faktor pendukung (endorcement) bagi kepentingan investasi mereka di sektor komoditi ekstraktif seperti tambang, perkebunan monokultur, keuangan yang semuanya mereka kendalikan. 

Negara Sri Lanka adalah contoh kegagalan itu. Negara ini telah terapkan konsep negara kesejahteraan dengan alokasi fiskal penuh untuk pendidikan gratis hingga ke perguruan tinggi, kesehatan gratis dan dana pensiun untuk warga negaranya itu saat ini telah menjadikan ekonomi dan politik negara itu porak poranda. Negara Sri Lanka yang baru baru ini mengalami krisis ekonomi dan politik hebat dan akhirnya terancam menjadi negara gagal adalah salah satu pelajaran penting bagi kita. 

Dalam konteks ini, Schumacher, ekonom dan ahli statistik ini sampai-sampai katakan "andai saya disuruh kembali kuliah ke semester satu di fakultas ekonomi dan hanya disuruh memilih tiga mata kuliah: statistik, ekonometrika dan sejarah, maka saya akan memilih sejarah". 

Kenapa? Karena dia tahu, konsep ekonomi itu diterapkan memiliki konteks yang berbeda-beda di setiap negara. Tak dapat dijalankan sama di setiap negara. Ada latar sejarah, konteks sosial ekonomi dan politik serta budaya yang berbeda. Termasuk untuk Indonesia. 

Kita tidak butuh negara kesejahteraan dan kita sudah punya sistem yang diperintahkan oleh UUD 1945 yaitu demokrasi ekonomi. Beberapa agenda yang penting dari demokratisasi ekonomi itu seperti ; alokasi pendapatan minimum warga negara (universal basic income), kepemilikan saham untuk buruh (Employess Share Ownership Plan-ESOP) syukur hingga 51 persen seperti yang disampaikan Bernie Sanders waktu kampanye presidensi di Amerika, pembatasan rasio gaji tertinggi dan terendah karena kesenjangannya sudah keterlaluan hingga ada presiden direktur perusahaan itu terima gaji 2.200 kali dari gaji karyawannya dengan jabatan terendah, demokratisasi  BUMN dan BUMD dalam kendali rakyat langsung, reforma agraria, hapus model kebijakan paket input yang hanya menyasar secara karitatif dalam kebijakan pengentasan kemiskinan,  terapkan kebijakan subsitusi import untuk dukung sektor pangan dan energi, dan lain-lain. 

Sekali lagi, welfare state atau negara kesejahteraan itu adalah jebakan baru negara negara global utara. Tidak sesuai dengan Konstitusi kita dan yang pasti kita tidak ingin mencontoh negara Sri Lanka bukan? (*)

Sumber : http://wartakoperasi.net/melawan-welfare-state-detail-446490