MICROFINANCE OUTLOOK 2023 ; INDONESIA MICROFINANCE EXPERT ASSOCIATION (Sebuah Pengantar)



Oleh : Dr. Ahmad Subagyo[1]

[1] Ketua Umum IMFEA dan Ketua Harian Keluarga Alumni FE-UNSOED

 

“Don’t ever look for past if you can’t learn from it, and don,t worry of your future if it only holding you back from moving forward”.

Kata-kata bijak di atas, sengaja dikutip untuk mengawali Pengantar “Microfinance Outlook 2023” IMFEA ini. Tahun 2023, yang niscaya penuh tantangan, sekaligus selalu ada peluang dan cahaya dalam lorong yang abu-abu. Ya, jangan pernah melihat masa lalu, jika kau tidak bisa belajar darinya, dan jangan mengkhawatirkan masa depan jika itu hanya akan menghambatmu untuk maju ke depan..

Melihat peta dunia keuangan mikro dewasa ini, landscape-nya sudah berubah jauh dibandingkan dengan ketika Profesor Muhammad Yunus dari Bangladesh, menerima Nobel Perdamaian pada 2006 silam. Kala itu, keuangan mikro di dunia hanya mengenal empat model bisnis. Mereka adalah Credit Union (CU) atau koperasi kredit yang berbasis membership, Grameen Bank, village bank yang dimotori oleh kredit mikro BRI, dan Self Help Group (SHG), sebentuk arisan yang banyak dipraktekkan di Asia Selatan. Satu dekade kemudian (2016) dunia belajar keuangan mikro Indonesia yang dikenalkan oleh Bank Dunia dengan tujuh model bisnisnya. Diantaranya adalah Credit Union (CU), Tanggung renteng, kuasi bank, BMT, Kemitraan, kuasi CU, dan unit simpan pinjam (USP).

Ketika kita memasuki era pandemi Covid-19 tahun 2020, wajah keuangan mikro makin beragam dengan kehadiran teknologi informasi dan kehadiran pelaku baru, yaitu Pemerintah itu sendiri. Ragam keuangan mikro dapat ditinjau dari kepemilikannya (pelakunya), dari instrumen yang dipergunakan, dan dari skema produknya.

Merujuk pada pandapat MS Robinson (2001) dalam The Microfinance Revolution: sustainable finance for the poor, menyatakan bahwa sasaran keuangan mikro sejatinya ada dua, yaitu the economically active poor dan the extremely poor. Kedua istilah ini, juga ada dalam Syariah Islam yaitu miskin dan fakir. Orang miskin adalah mereka yang mampu melakukan pekerjaan dan mendapatkan pendapatan namun tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara layak. sedangkan orang fakir, adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri. Kedua sasaran tersebut tentunya berbeda pendekatannya, dan di sinilah model bisnis keuangan mikro berkembang secara massif.


Kondisi Terkini Keuangan Mikro di Indonesia

Pelaku Keuangan Mikro

Ditinjau dari aspek pelaku keuangan mikro di Indonesia, dapat dibedakan menjadi empat yaitu (1) Bank, (2) Lembaga keuangan bukan Bank, (3) Koperasi, dan (4) Perseorangan (money lenders). Perbankan memberikan kontribusi terbesar dalam volume pendanaan terhadap sektor mikro dan kecil (UMK). Laporan OJK 2021, 110 bank komersial telah memberikan kredit ke UKM sebesar Rp. 1.059 triliun dan BPR sebesar Rp. 110 triliun.

Adapun lembaga keuangan Bukan Bank (LKBB) yang terdiri dari 184 Multifinance, 83 Pegadaian, 60 Ventures Capital, 22 perusahaan penjaminan kredit dan Permodalan Nasional Madani (PNM), di akhir 2020 porsi kreditnya mencapai Rp.452,2 triliun atau hampir separuh kredit Bank. (ADB Monitor)

Data yang cukup mengejutkan, mengemuka dari laporan Layanan Keuangan Digital (LKD) OJK Q2 tahun 2022. Bahwa P2P, equity crowdfunding, inovasi keuangan digital dengan jumlah perusahaan sebanyak 149 Fintech Lending, ternyata telah mampu menyalurkan Rp. 113 triliun. Angka ini melampaui BPR dan Koperasi SImpan Pinjam (KSP).  Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) dalam laporan Kemenkop UKM 2021 baru mampu menyalurkan pembiayaan sebesar Rp. 59 triliun.

Eksposur capaian Layanan Keuangan Digital (LKD) di atas, telah memberi warna baru (juga kejutan baru) dunia keuangan mikro yang akselerasinya begitu cepat berkat sokongan teknologi digital. Sekali lagi, era teknologi digital benar-benar menawarkan peta baru industri keuangan mikro.

 

Inovasi dan Inklusi

Spirit dalam keuangan mikro adalah, bagaimana cara menjangkau masyarakat remote area dalam layanan keuangan, baik dalam bentuk tabungan, pinjaman, asuransi maupun penjaminan dan produk keuangan lainnya (pembayaran).

Sasaran keuangan mikro yang jumlahnya besar dan tersebar di seluruh Indonesia, yang menghuni dalam berbagai pulau dan daratan yang jaraknya sangat jauh dari jangkauan kantor layanan perbankan, saat ini sedikit demi sedikit mulai terurai dan teratasi dengan kehadiran teknologi.

Lembaga Keuangan saat ini sedang berlomba mengembangkan infrastruktur teknologinya.  Karena menjadi sebuah keniscayaan, tanpa dukungan teknologi yang tepat, maka daya saing akan menurun dan pada saatnya akan tereliminasi dari industry.

Bagaimana dengan Koperasi?

Koperasi sebenarnya organisasi yang unik jika dilihat dari perspektif industri keuangan lainnya. Keunikannya terutama ada pada masalah kepemilikan “ownership”, dimana para pengguna jasa keuangan koperasi adalah anggotanya sendiri. Sehingga, walaupun dari sisi jumlah omset atau volume usahanya relatif lebih rendah dibandingkan dengan industri sejenis (BPR dan Fintech), namun pemilik Koperasi relatif lebih besar jumlahnya. Sehingga, sebenarnya Koperasi bermain dalam wilayah “BLUE OCEAN” jika mereka berpegang teguh pada prinsip koperasinya sendiri.

Keunggulan tersebut tentunya akan semakin kuat jika Koperasi bersedia untuk memodernisasi dirinya melalui penggunaan teknologi informasi, menuju digitalisasi.

Nah, apakah Koperasi mampu memodernisasi dirinya sendiri tanpa bantuan pihak lain?

Demikian juga Lembaga Keuangan Mikro, mampukah bersaing dengan Lembaga keuangan lain, di tengah-tengah persaingan yang makin ketat, baik dari sisi pelaku maupun skema-skema pembiayaan mikro yang makin beragam dari Pemerintah sendiri melalui Kredit usaha Rakyat (KUR), Kredit Ultra Mikro (Umi), pendanaan melalui LPDB, dan program-program bantuan lainnya yang berasal dari Pemerintah.

Meskipun demikian, kenyataannya, angka inklusi pembiayaan kita masih berada di angka 19,8%. Artinya dari total populasi kita yang tak lama lagi akan menyentuh 300 juta jiwa itu, yang mampu mengakses pembiayaan formal tidak lebih dari seperempat penduduk kita. Maka, kehadiran Lembaga-lembaga pembiayaan alternatif menjadi keniscayaan untuk mendorong agar masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan layanan keuangan yang berkeadilan bagi diri dan masyarakat lainnya.

Regulasi yang Kondusif

Dalam keragaman dan kompleksitas layanan keuangan bagi masyarakat grassroot diperlukan peraturan dan kebijakan yang adil bagi semua pihak. Bagaimana pemerintah mampu memberikan ruang yang fair bagi para pelaku keuangan mikro dan di sisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah mampu mengakses layanan keuangan dengan mudah, aman dan murah.

Terbilang urgen adalah RUU Perkoperasian, yang sedang diintensifkan agar dapat segera diundangkan tahun ini. Menggantikan UU Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 yang dinilai sudah tidak kompatibel dengan perkembangan zaman. Persiapan RUU Perkoperasian yang sedang disusun menjadi kunci bagi perubahan dan titik balik ke arah penguatan Perkoperasian di Indonesia.

Dalam kajian Microfinance Outlook 2023, sejumlah issue penting dapat dielaborasi. Memetakan subyek (pelaku) dan obyek (sasaran) keuangan mikro kedepan. Juga kecenderungan bisnis keuangan mikro, regulasi dan eksosistem pendukung, serta trend global keuangan mikro. Kajian yang komprehensif dari para pakar yang kompeten, akan menjadi insight berharga dan modal penting menyongsong dunia keuangan mikro Indonesia yang lebih cerah. (*)



 

Kategori
WACANA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar