Meretas Kota Inklusif Berbasis Koperasi

Di tengah menghangatnya rencana ‘Pindah Ibukota Negara” yang diumumkan Presiden Joko Widodo, Agustus lalu, kajian ihwal kota inklusif layak dikedepankan. Selain kesiapan infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial, membangun kultur masyarakat partisipatif dinilai sangat urgen. Pembangunan ekonomi yang melibatkan partisipasi publik luas dalam semangat koperasi. Tanpa semangat dan etos koperasi, pembangunan ekonomi yang menjadikan modal kapital sebagai penentu, sulit menjadikan kota yang terbuka dan partisipatif, akan terwujud.

Peningkatan sumber daya manusia (SDM) di kalangan penduduk lokal sangat penting. Mereka kelak harus menjadi pihak yang merasakan manfaat dari adanya pembangunan sebuah kota, termasuk pemindahan ibu kota negara, dan bukannya malah termarginalkan. 

Dalam konteks itulah, sebuah diskusi yang dihelat Pusat Kemasyarakatan dan Budaya (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, akhir Juli lalu, jadi relevan. Hadir sebagai narasumber, Profesor Henny Warsilah (PMB –LIPI) dan Gugun Muhammad dari Urban Poor Consortium (UPC). 

Riset Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB-LIPI) satu dekade terakhir mendapati trend tumbuhnya inisiasi kota inklusif di sejumlah daerah, termasuk di daerah perbatasan. Mengutip Henny, Konsep “inklusif”,penting untuk memahami konsep social exclusion, konsep yang awalnya muncul di Perancis pada 1970an. Saat itu, istilah social exclusion digunakan untuk menggambarkan kondisi kelompok-kelompok marjinal di masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan pekerjaan dan jaminan kesejahteraan (the income safety nets of the welfare state).

Renee Lenoir (1979) menulisnya dalam Les exclus: Un Francais sur dix (mereka yang tereksklusi) tidak mendapatkan hak-hak asasi sebagai warga negara, entah karena mereka menjadi korban diskriminasi, seperti kalangan difabel, atau kerena mereka bukan warga negara Perancis dan tinggal di negeri itu sebagai pencari suaka politik. 

Social exclusion sebagai proses terhalangnya, sebagian atau sepenuhnya, akses terhadap sistem sosial, ekonomi, dan budaya yang menjadi kunci dalam integrasi seseorang di masyarakat. 

Menurut defnisi ini, sebagian orang ada yang berada di luar lingkaran, tidak dapat berpartisipasi penuh di masyarakat, dan masalah ini bersifat sistematik karena bersumber dari –apapun sebabnya—sistem sosial.

Menurut Sheppard (2006), kelompok yang dapat tereksklusi secara sosial diantaranya adalah Kelompok miskin, pengangguran, dan tidak seberuntung lainnya. Mereka yang tidak memperoleh pemenuhan haknya sebagai warganegara; dan mereka yang terputus dari relasi sosialnya.

Adapun paparan The Centre for the Analysis of Social Exclusion menyatakan, orang dikatakan tereksklusi secara sosial bila secara geografis (bukan KTP) adalah penduduk di suatu wilayah dimana ia tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang lazimnya dilakukan oleh warga di tempat itu. Termasuk di dalamnya adalah mereka yang sangat ingin berpartisipasi, tetapi keinginannya terhalang oleh berbagai faktor di luar kontrol dirinya (Burchardt, Le Grand, & Piachaud, 1999)

Bagaimana Indonesia kini? Pemerintah melalui Bappenas memang mendorong agar kota-kota di Indonesia menjadi liveable city atau kota yang nyaman ditinggali. Kota yang nyaman dihuni segala macam kelompok dan penduduk tanpa memmerhatikan umur, gender, dan disabilitas. 

Masyarakat yang terbuka bagi semua tanpa terkecuali, yang universal tanpa mengenal perbedaan suku, agama, ras dan ideologi. Masyarakat yang ramah bagi semua, yang setiap anggotanya saling mengakui keberadaan, menghargai dan mengikutsertakan perbedaan Kota Jakarta,misalnya, saat ini baru menempati peringkat ke-116 The Most Liveable City, alias masih jauh dari ideal untuk disebut sebagai kota inklusif. 

Di sejumlah daerah, para Wali Kota juga mengembangkan konsep kota inklusif tersebut di wilayahnya masing-masing. Diantaranya di Solo, Kota Surabaya, Semarang, dll. Terkait dengan anggaran, Pemerintah Pusat sudah menganggarkan lewat Dana Alokasi Umum (DAU) setiap tahun, sehingga pemerintah kota bisa menggunakannya lewat APBD. 

Milesia.id mencatat, paruh Juli lalu, misalnya, Bappenas menghelat Indonesia Development Forum (IDF), di Jakarta.  IDF 2019 menyodorkan tema “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. Hadir tak kurang dari 250 pembicara nasional dan internasional dari berbagai latar belakang dan sektor industri. Sebelumnya, sejak awal tahun, Kementerian PPN/Bappenas sudah menghelat Road to IDF di berbagai kota. Tercatat  Kota Batam, Semarang, Jakarta, hingga Sorong dan Kupang.

Pembangunan sumber daya manusia yang kompetitif  plus menciptakan lapangan pekerjaan yang bermutu sesuai konteks zaman, menjadi papan target agenda IDF. Terlebih, tak lama lagi Indonesia akan memanen bonus demografi. Satu masa ketika jumlah penduduk usia produktif diproyeksikan mencapai hampir 70 persen atau setara dengan 200 juta jiwa. Angka yang besar dan memberikan resultan positif yang sama besar jika dapat dimanfaatkan secara optimal.

Dipaparkan Henny, Inklusifitas dalam riset PMB LIPI, juga mengarah pada inklusi ruang, inklusi sosial dan inklusi ekonomi. Inklusi sosial, sebuah proses manakala baik sebagian atau sepenuhnya menjadikan seseorang atau kelompok masyarakat terlibat dalam berbagai aspek pembangunan. Masyarakat tidak lagi melulu diposisikan sebagai objek pembangunan. 

Lima faktor yang ditawarkan dalam inklusi sosial meliputi persoalan Kemiskinan, Pengangguran, Ketiadaan jaringan sosial, Pengaruh tempat tinggal dan lingkungan sosial, serta keterkucilan dari akses pelayanan umum.


Belajar dari Sorong hingga Jakarta

Narasi kota inklusif yang juga menarik dikaji adalah apa yang terjadi di Kota Sorong, Papua, daerah yang telah memiliki Otonomi Khusus (Otsus). 

PMB LIPI mendapati, partisipasi warga kota untuk menuju kota inklusif masih jauh dari harapan, masih ada lag antara warga biasa dan para pekerja. Partisipasi tidak muncul dari bawah, tetapi dari atas dan bentuknya cenderung perintah.

Selanjutnya, meskipun akses kepada ekonomi kota mulai terbuka, tetapi kemampuan warga kota untuk mengelola ekonomi sangat terbatas, pada umumnya bergerak di sektor ekonomi informal, PKL hasil bumi dan sayuran baik di pasar dan pinggir jalan.

Sejatinya warga Kota Sorong sudah memiliki sikap inklusif, bisa hidup bersama dengan pendatang, bersikap terbuka, dan mau menerima perbedaan. Sayangnya, sikap ke dalam kelompok etnis dan klan masih tertutup dan masih mempraktikkan hukum adat komunal, tradisi adat dan minuman keras. Serta masih tingginya kasus kriminal. 

“Kombinasi budaya konsumtif, konsumsi miras, dan nge-lem (menghirup lem aibon untuk mendapatkan sensasi mabuk), sebagai bagian dari alat penarik kohesi social, menjadikan semakin buruknya kondisi sosial yang masih rawan terjadi konflik dan cenderung melanggar aturan hukum,” terang Henny.

“Sejatinya, masyarakat hanya membutuhkan pendampingan, bukan diajari. Sehingga perlu terdapat reformasi administrasi dan reformasi budaya bagi masyarakat di Papua. Orang Papua ini kurang mengerti dan kurang aktif setelah menerima bantuan, mereka harus didampingi”.

Gugun Muhammad dari Urban Poor Consortium (UPC), mendedah lansekap problematis masyarakat pinggiran Ibu Kota yang sering terabaikan. 

“Pada 2014-2017, misalnya, merupakan masa kelam bagi masyarakat miskin kota. Kurang lebih 15 ribu keluarga yang mengalami penggusuran. Tidak hanya rumah, becak juga digusur. Sebenarnya waktu zaman Pak Jokowi penggusuran becak dihentikan, tetapi pada zaman Basuki becak digusur lagi,” papar Gugun. 

“Hal yang menyedihkan dan muncul di kota adalah stigma yang muncul oleh media. Seperti kampung akuarium yang digusur dengan “isu” tempatnya sumber penyakit TBC”. 

Tak mudah mengimplementasikan kota inklusif di Jakarta. UPC, misalnya, memilih  strategi pengorganisasian masyarakat. “Sebenarnya ada banyak kelompok namun bergerak secara sendiri-sendiri. Salah satu pengorganisasian ini diantaranya dengan penataan kampung,” ujar Gugun. “Tidak hanya sekedar melawan melalui berbagai aksi massa, tetapi rakyat miskin kota dapat memiliki lingkungan dan stigma yang lebih baik”.

UPC juga melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan yang tidak adil bagi rakyat miskin kota. Contohnya terkait penggusuran. Serta membangun jaringan yang menghubungkan korban dengan kelompok lainnya yang memilik kepedulian yang sama. Diantaranya dari kalangan seperti pengacara, arsitek, seniman, dll. 

“Kumuh itu bukan soal mentalitas tidak mau berubah, tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan yang tidak pasti. Jadi, saat ini harus ada keinginan dari Pemerintah untuk mengakui eksistensi masyarakat di kampung-kampung. Dalam reforma agararia di perkotaan ini rencananya untuk memberikan tanah kepemilikan bersama agar tidak tergerus pembangunan,” pungkas Gugun.

Sementara di Purwokerto, Jawa Tengah, anak-anak muda intens membangkitkan koperasi dengan greget khas anak muda milenial. Menjadikan koperasi sebagai “way of life” yang melatari aktifitas ekonomi, kreatif, dan pengembangan diri. Lahir nama-nama inovasi koperasi macam Kopkun, yang berbasis kampus Universitas Soedirman.

Satu tahun terakhir, inovasi-inovasi dalam berkoperasi terus digulirkan anak-anak muda pegiat koperasi di Purwokerto. Mereka berkolaborasi dengan entitas bisnis kreatif dan orang-orang muda yang sevisi untuk membangun jaringan koperasi yang inovatif dan tidak birokratis. Embrionya mulai muncul mulai dari Subang, Jember, Sragen, hingga Lampung.(Priono/foto istimewa)


Kategori
WARTAUTAMA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar