Menyikapi Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Nrimo ing Pandum

Oleh : Prof. Dr. Agustitin Setyobudi


Hingga saat ini Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia belum menunjukkan tanda akan berakhir. Negeri kita tercinta Indonesia, juga tengah berikhtiar keras untuk memulihkan diri dari pandemi. Hampir semua pendekatan sudah dilakukan baik oleh Pemerintah maupun warga. Pendekatan kesehatan, politik, ekonomi dan budaya. Sebagai insan beriman, pendekatan agama dan spiritualitas adalah hal yang tidak terpisahkan dalam menghadapi semua fenomena kehidupan, termasuk peristiwa pandemi yang telah menelan banyak korban jiwa ini.

Penulis ingin mengetengahkan salah satu kearifan spiritual yang menjadi salah satu perspektif untuk memahami akar kesabaran, yaitu konsep Nrimo ing Pandum.

Nrimo artinya menerima dari apa yang telah di usahakan secara maksimal, Pandum artinya pemberian imbalan  dari hasil usaha. Jadi Nrimo ing Pandum memiliki arti menerima segala pemberian apa adanya dari hasil karyanya ( usahanya ). Konsep ini menjadi salah satu falsafah paling populer yang sampai kini masih di tegakan atau dianut masyarakat.

Dari ilmuwan sosial menganggap konsep ini sebagai salah satu penyebab rendahnya etos kerja masyarakat . Para ilmuwan itu menduga sikap masyarakat yang cenderung menerima segala sesuatu apa adanya menyebabkan pupusnya motivasi untuk bekerja. Sehingga masyarakat hanya diam saja menunggu pemberian tanpa melakukan usaha

Memperhatikan teori-teori Psikologi dewasa ini memunculkan asumsi yang dapat menjelaskan bahwa setiap tindakan manusia berasal dari kepentingan diri mereka sendiri. Mulai dari pendekatan psikoanalisis yang beranggapan bahwa manusia bertingkah laku karena dorongan dari dalam diri yang disebut “Id” hingga teori-teori humanistik yang menggambarkan manusia seharusnya menjadi diri sendiri seperti yang individu tersebut inginkan. Bahkan perilaku prososial pun dianggap sebagai upaya pengharapan akan balasan perilaku yang sama dari orang lain.

 Individualistik yang tumbuh ditengah tengah masyarakat semacam itu, maka wajar jika semua perilaku yang dilakukan oleh manusia berasal dari motif pribadi dan demi kepentingan diri sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah bekerja. Sebuah tindakan seorang individu dianggap hanya untuk dirinya sendiri. Praktiknya adalah berbagai macam kebijakan yang bertujuan meningkatkan kinerja individu berdasarkan pada kebutuhan pribadi.

Hidup  bukan hanya tentang memperoleh sesuatu dari dunia, tetapi juga memberikan sesuatu pada dunia. Islam mengenal konsep Qadha dan Qadar yaitu adanya ketetapan-ketetapan yang telah diatur oleh Allah SWT. Dalam bahasa sederhana dapat kita katakan bahwa di dunia ini ada hal-hal tertentu yang berada di luar jangkauan kemampuan kita untuk memahaminya.

Agar dapat mengatasi masalah tersebut dikenalkanlah konsep tawakal dalam Islam. Tawakal artinya berserah diri terhadap Allah SWT. Sehingga setiap ketetapan yang ada harus kita terima dengan lapang hati karena kita telah menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT. Konsep inilah yang sekilas mirip dengan konsep Nrimo ing Pandum (tawakal).

Tawakal, seperti halnya Nrimo ing Pandum juga seringkali dianggap berlawanan dengan konsep berusaha atau bekerja keras. Padahal jika kita mau mencermati, kedua konsep ini hanya menjelaskan tentang satu hubungan, yaitu bagaimana menerima stimulus dari luar dan tidak menjelaskan bagaimana seharusnya memberikan stimulus ke luar

Kita melakukan dua hubungan dengan dunia luar yaitu menerima dan memberi. Kemampuan kita bukan hanya tentang menerima stimulus dari luar, tetapi juga memberikan stimulus ke luar. Konsep memberi ini yang terkadang kurang diperhatikan. Selama ini kita berasumsi bahwa kita memberi sesuatu karena kita ingin menerima, Keinginan “memberi untuk menerima” 

Tawakal dan Nrimo ing Pandum ini befungsi dalam hubungan menerima stimulus dari luar.  Rasa senang timbul akibat terpenuhinya harapan oleh kenyataan dan bila harapan tidak terpenuhi maka menimbulkan rasa susah. Harapan adalah sesuatu yang kita ciptakan atas kehendak kita sendiri. Sedangkan kenyataan adalah hal-hal yang dalam batas tertentu berada di luar kemampuan kita. Dalam Islam dikenal bahwa Qadha dan Qadar sepenuhnya berada di tangan Allah SWT dan berada di luar jangkauan manusia.

Tawakal dan Nrimo ing Pandum menjalankan fungsinya. Kedua konsep ini sebagai pengekang agar manusia tidak terlalu tinggi dalam berharap sehingga ketika kenyataan ternyata tidak sesuai, rasa susah tidak akan menyerang individu tersebut. Konsep ini membantu kita menerima kenyataan yang ada. Tawakal membuat kita berserah kepada Allah Swt

Ekspresi Kecukupan Hidup

Nrimo ing pandum, "menerima sekadar pemberian”. Itulah makna harfiahnya. Dianggap sebagai salah satu gambaran tentang etos orang Jawa yang paling menonjol.

Masa yang ditengarai sebagai zaman édan. Kala berarti masa atau keadaan, tiḍa bermakna keraguan, atau tida bermakna cacat. Zaman yang penuh kekacauan akibat kolonialisme dan kemerosotan moral yang didera oleh hampir semua lapisan masyarakat, terutama moral dan kewibawaan

 “Kenikinartadarsan // Panglimbang ala lan becik // Sayekti akeh  kewala // Lelakon kang dadi tamsil // Masalah ingngaurip // Wahani nira tinemu // Temahananarima // Mupus pepesthening takdir //

Sikap waskita,  sesungguhnya merupakan ajaran moral dan keutamaan hidup dengan bahasa yang sangat sederhana. *“Banyak kisah—tentang laku baik dan buruk—sungguh banyak cara—laku yang bisa jadi contoh—urusan hidup—yang utama—menerima (kenyataan) hidup—sebagai takdir…”

Nrima atau narima sebagaimana dalam NASEHAT(pitutur nrima ing pandum)
Nrima, berterima atas kenyataan hidup, dianggap sebagai perwujudkan dari kematangan moral masyarakat Jawa.
Sejajalan dengan sikap-sikap keutamaan lain, seperti sabar, legowo (lapang dan tulus), eling-waspada.

Ini semua sifat keutamaan tersebut merupakan sesuatu yang bersifat asketis. Tidak mungkin seseorang memiliki kekuatan batin nrima atau legowo kecuali berakar pada kedalaman spiritualitas

Pengalaman asketis, nrima ing pandum merupakan ekspresi kejiwaan seseorang yang sudah mencukupi hidupnya dengan memasrahkan semuanya pada kehendak Hyang Tunggal. Orang harus mengarungi laku tirakat yang panjang untuk bisa mencapai kesempurnaan nrima, sehingga menep (hidup sempurna dan tercukupi) karena menerima semua kenyataan sebagai kenyataan harmoni.

Setiap jenis pitutur selalu memiliki kaitan dengan asketisme, terutama berakar pada pandangan hidup orang Jawa pada kenyataan tunggal, dan keharusan menjaga harmoni dalam kehidupan. Nrima ing pandum bukan pembenaran atas sikap hidup fatalistik. Sebaliknya, itu merupakan sikap mental-batin tertinggi karena orang sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri, berdamai dengan kenyataan hidup, berdamai dengan kenyataan tertinggi.

Nrima artinya, orang sudah mencapai situasi kejiwaan eling-waspada, yakni refleksi-diri total yang senantiasa memahami posisi diri dalam hukum kosmik yang jarang bisa digapai oleh nalar.  Selain bersifat asketis, pitutur tetap menggambarkan keterpesonaan yang besar akan situasi harmoni. Bila orang bisa nrima,

Perilaku (sikap) demikian membantu orang untuk menjaga harmoni dalam kehidupan sosial. Secara kejiwaan juga membantu setiap orang untuk bersikap positif terhadap kehidupan karena, kenyataan hidup selalu merupakan ikatan harmoni tertinggi. Itulah yang disebut takdir bagi orang Jawa. Menerima kenyataan hidup sebagai takdir, sama artinya dengan memahami kenyataan hidup sebagai hal paling suci yang harus diterima dengan "suméléh."

Suméléh digunakan untuk menggambarkan situasi kejiwaan seseorang, ketika seluruh emosi menjadi luruh, lebur dalam sikap SABAR

Dalam  SITUASI TERTENTU PASTI MEMBUTUHKAN KESABARAN.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya

“Keadaan seorang mukmin begitu mengagumkan. Semua kondisinya merupakan kebaikan, dan tidak akan ditemukan hal semacam ini kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapat kenikmatan ia bersyukur, dan kondisi ini adalah kebaikan untuknya dan jika ia ditimpa keburukan ia bersabar dan kondisi ini juga kebaikan untuknya.” (HR. Mulim No. 2999)

Seseorang mukmin senantiasa baik, karena ia diliputi oleh dua keadaan, yaitu ia bersabar terhadap hal yang ia benci dan bersyukur dengan hal yang ia sukai.

اَلْإِيْمَانُ نِصْفَانِ نِصْف صَبْر، وَنِصْف شُكْر

“Iman terdiri dari 2 bagian, sebagiannya adalah sabar dan sebagian yang lain adalah syukur.”
(Qaa’idah fi Ash-Shab, hal. 2)
Orang orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah hendaknya melazimkan kesabaran dalam tiga hal:

A, Selalu sabar di atas ketaatan hingga dapat melaksanakannya.

Ketaatan pada Allah membutuhkan kesabaran, karena umumnya raga ingin bermanja-manja dan hawa nafsu mendorong untuk melakukan perbuatan yang tidak di sukai Allah.

Allah Swt berfirman.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah  dalam mengerjakannya.” 
(QS. Thaha: 132)

SENANTIASA Bersabarlah dalam ketaatan, niscaya Allah akan tumbuhkan nikmat iman dengan sebab kesabaran. Jika nikmat dalam melaksanakan perintah Allah telah diraih, maka ketaatan tidak lagi menjadi beban atau penggugur kewajiban, tapi ketaatan akan menjadi kebutuhan dan sumber kebahagiaan bagi seorang hamba. Sebagaimana seseorang yang melaksanakan shalat untuk menggugurkan kewajibannya, bisa jadi ia merasa berat di awal, tapi jika ia jujur dalam niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan tumbuhkan iman dalam dirinya, sehingga shalat akan menjadi kebutuhan dan sebab kebahagiaannya.

B, Selalu.bersabar untuk meninggalkan larangan.

Ada Sebagian orang yang mengira bahwa meninggalkan larangan lebih mudah dari melaksanakan perintah, karena melakukan sesuatu butuh usaha lebih besar daripada meninggalkan sesuatu. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Nafsu selalu menghiasi larangan dengan keindahan dan perkara yang disukai.

أَعْمَالُ الْبِرِّ يَفْعَلُهَا الْبِرُّ وَالْفَاجِرُ وَلَا يَقْدِرُ عَلَى تَرْكِ الْمَعَاصِى إِلَّا صَدِّيْقٌ

“Amal kebaikan bisa dilakukan oleh orang yang baik maupun fajir (jahat), namun hanya orang jujur yang mampu meninggalkan maksiat.” (Qaa’idah fi Ash-Shabr, hal. 3)

Allah SWT mencontoh kesabaran dalam meninggalkan larangan dengan kisah Nabi Yusuf alaihissalam
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Yusuf berkata, ‘Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika Engkau tidak hindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33)

C, bersabar dalam menghadapi takdir Allah

Terhadap Takdir Allah ada yang disukai adapula yang tidak disukai. Sedangkan orang yang beriman dalam menyikapi takdir Allah tidak lepas dari dua perkara, yaitu bersyukur terhadap takdir yang ia sukai dan sabar menerima dan menghadapi takdir yang tidak menyenangkan baginya seperti sakit, musibah kehilangan anggota keluarga dan harta

Allah menghendaki tidak suatu musibah atau kesempitan menimpa seorang hamba kecuali ada hikmah kebaikan untuk dirinya, dan Allah lebih mengetahui kebaikan untuk hamba-Nya daripada dirinya sendiri.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu ber,juang, walau itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi bisa jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” 
(QS. Al-Baqarah: 216)

Implementasikan  sikap sabar terhadap hal hal.yang menjadi takdir Allah dengan:,

1. Selalu Menjaga lisan dari mengumpat dan mengeluh dsb

2. Menjauhkan Diri dari hal hal yang menjadi larangan Allah (melakukan hal-hal yang menunjukan penentangan terhadap ketetapan Allah subhanahu wata’ala atas dirinya, seperti : memukul-mukul pisik, merobek-robek baju dan yang dll nya.

Sebagai seseorang yang mampu bersabar apabila ditimpa musibah hendaknya bersabar dan menghibur dirinya dengan janji Allah berupa pahala tanpa batas. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Hanya orang-orang yang bersabar yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Muda mudahan kita termasuk orang-orang yang Allah teguhkan di atas kesabaran, baik untuk menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan menerima setiap takdir  Allah Swt. Semoga kita senantiasa diberi kesabaran utuh menghadapi pandemi dan terus berikhtiar dengan segala daya upaya agar Allah SWT ridho dengan usaha kita.(*)

*)Prof. Dr. Agustitin Setyobudi, Guru Besar Ekonomi dan Koperasi,

Kategori
PESAN

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar