Menimbang Prospek Koperasi Multipihak

Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI) menghelat sebuah jajak pendapat tentang Koperasi Multi Pihak, 19 Januari lalu. Koperasi Multi Pihak relatif belum familiar, meskipun lazim di banyak negara. Dalam rilis 300 koperasi terbesar di dunia oleh World Cooperatives Monitoring – ICA, koperasi multipihak berjaya dengan asset dan omset nya yang meraksasa.

Koperasi multi pihak (multi stake holders)memungkinkan tata kelola koperasi dilakukan oleh dua atau lebih pemangku kepentingan dalam organisasi yang sama. Melibatkan sektor konsumen, produsen, pekerja, hingga relawan dan masyarakat umum . ICCI telah menyelenggarakan jajak pendapat tentang inisiatif koperasi multi pihak pada 19 Januari 2021 llu. Jajak pendapat bertujuan untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap model koperasi multi pihak.

Lebih jauh yaitu untuk memetakan sejauh mana inisiatif masyarakat, bila mana sudah ada, dalam mengembangkan model ini secara organik. Jajak pendapat ini menemukan fakta-fakta yang cukup menggembirakan. Hasil jajak pendapat ini bisa menjadi starting point dan baseline awal dalam pengembangan koperasi multi pihak di masa mendatang.

Jajak pendapat ini diikuti oleh 66 responden yang tersebar secara acak di berbagai kota/ kabupaten di Indonesia. Kabupaten/ kota itu seperti Banyumas, Bandung, Jakarta, Banjarmasin, Subang, Majalengka, Ternate, Tangerang, Malang, Sidoarjo dan lain sebagainya. Dari 66 responden, 53% di antaranya mengatakan tahu tentang model koperasi multi pihak. Kuesioner didesain di mana responden yang menjawab tahu, bisa melanjutkan pertanyaan berikutnya. Sebaliknya, yang tidak tahu, langsung menyelesaikan jajak pendapat ini.

Dari yang tahu tersebut (100%), kemudian mereka ditanya apakah memiliki ide yang membutuhkan model koperasi multi pihak dalam menjalakan ide tersebut. Jawabannya, 94,1% mengatakan sudah memiliki ide. Hanya sebagian kecil saja yang tidak. Kemudian didalami lebih lanjut sejauh apa ide tersebut telah dijalankan dan hasilnya cukup menggembirakan.

Sebanyak 31,4% responden mengatakan baru memiliki ide besar saja. Lalu 17,1% di antara mereka menyatakan telah memiliki konsep serta model bisnis dan model kelembagaannya. Sebanyak 11,4% mengatakan telah memiliki konsep, SDM namun bisnis belum jalan. Kemudian 20% di antaranya mengatakan bisnis mereka sudah jalan, namun belum berbadan hukum. Sisanya, 20% responden menyebut sudah berbadan hukum dan siap konversi ke model multi pihak.

Lalu apa saja sektor bisnis yang dikerjakan oleh responden dalam jajak pendapat tersebut? Empat besar sektor bisnis mereka yaitu pertanian (26,5%), jasa (26,5%), digital (11,8%) dan komunitas (11,8%). Di susul kemudian sektor pemasaran dan produk yang sama di angka 8,8%. Sisanya memilih sektor bisis lainnya, hanya di angka 5,9%.

Jajak pendapat juga mendalami berapa pihak yang terlibat dalam model tersebut. Sebagian besar mengatakan tiga dan lebih dari tiga pihak, yang total keduanya mencapai 74,3%. Sisanya, 25,7% menyebutkan ada dua pihak yang akan terlibat. Bauran pihak yang dimaksud responden seperti: produsen-konsumen; pendiri-pekerja-kreator-pengguna; produsen-konsumen-investor; produsen-konsumen-pekerja; pekerja-konsumen-investor dan lain sebagainya.

Di bagian akhir jajak pendapat ditanyakan, apakah mereka merasa membutuhkan pendampingan dalam implementasi model koperasi multi pihak ini. Sebagian besar, yaitu 91,2% responden mengatakan membutuhkan pendampingan. 

Berangkat dari fakta di lapangan itu, pengembangan koperasi multi pihak sudah menjadi kebutuhan nyata di masyarakat. Data itu bisa menjadi baseline awal untuk melakukan pendampingan intensif dan dijadikan pilot project. Firdaus Putra, HC., Komite Eksekutif, mengatakan, “Kita akan menyampaikan temuan ini ke Kementerian Koperasi dan UKM, khususnya kepada Deputi Perkoperasian, bahwa perlu segera untuk disusun Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) koperasi multi pihak. Bila kita lihat dari sisi demand side sudah ada, tinggal pemerintah meresponnya, memberi supply regulasi serta daya dukung lain dalam pengembangannya”, ujarnya.

 

Alternatif Badan Hukum BUMDES

 

Model koperasi multi pihak ini memang ada perbedaan dengan corak konvensional yang satu pihak (single stakeholder). Karenanya dibutuhkan regulasi agar embrio-embrio yang ada itu bisa berkembang dengan baik sebagai spesies baru, multi stakeholder cooperative. Agar bagus, tentu butuh habitat dan eksosistem yang sesuai, salah satu pilarnya adalah payung hukum. Sebab, dalam pengambilan keputusan saja, model multi pihak ini menggunakan skema proportional right voting, berbeda yang satu pihak dengan sistem voting satu orang satu suara. Hal semacam ini akan menjadi liar dan blunder bila tidak ada kepastian hukumnya.

 

Selain itu, praktik di negara lain, keanggotaan koperasi multi pihak bisa juga non-kelompok anggota individual. Entitas bisnis bisa menjadi anggota koperasi multi pihak juga dalam bentuk group supplier atau group processor, misalnya. Bila kita afirmasi juga modelnya di Indonesia, maka koperasi multi pihak ini akan menjadi solusi kelembagaan nyata bagi model-model kelembagaan ekonomi baru seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Model Bumdes Bersama atau konsorsium Bumdes bisa diwadahi melalui koperasi ini. Di mana masyarakat, secara individu, menjadi satu kelompok anggota sendiri, misalnya, konsumen atau produsennya.

 

Dalam pernyataannya, Komite Eksekutif ICCI menambahkan, “Sekarang minimalnya ada 34 embrio yang bisa menjadi pilot project. By name by address dan kontak mereka kita pegang. Jadi kita tidak berangkat dari nol, melainkan dari modalitas yang sudah ada di masyarakat. Ini bagus, sebab inisiatif berasal dari bawah, secara bottom up. Masyarakat sudah merasa butuh. Jadi perlu segera difasilitasi. Untuk itu dalam tempo dekat kami akan berkomunikasi dan koordinasi lebih lanjut dengan Kementerian,” tambah Firdaus.

 

(PRIONO) Sumber : ICCI

Kategori
DINAMIKA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar