DIALEKTIKA PENGAWASAN KSP/USP “Antara OJK, OPEK, dan Jalan Tengah”

img-1667704466.jpg

Oleh: Dr. Ahmad Subagyo

(Ketua IMFEA, Tim Perumus RUU Perkoperasian)


Hingga pekan pertama November ini, lema Koperasi yang menyeruak dalam issu perekonomian di pemberitaan media nasional, mengerucut pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Diskursus menyangkut KSP, juga nyaris tanpa jeda beredar dari grup ke grup media sosial yang penulis ikuti dan inisiasi.  

Koperasi Simpan Pinjam (KSP) memang bukan jenis koperasi yang sama sekali baru, katakanlah dibandingkan dengan koperasi yang mengusung platform digital. Baik sebagai produk maupun layanan. KSP di Indonesia bisa jadi seumuran dengan penulis saat ini, atau bahkan lebih tua lagi, dengan pertumbuhan yang terbilang cepat.

Setidaknya tercatat 17 ribu unit KSP tersebar di seluruh Indonesia. Sebagai pembanding (atau pelengkap), Unit Simpan Pinjam (USP) yang dikelola oleh beragam jenis koperasi non KSP, jumlahnya lebih besar lagi, tak kurang dari 60 ribu unit. Secara kumulatif, asetnya tercatat lebih dari Rp 251 triliun dengan anggota lebih dari 27 juta orang.

Jika terkelola dengan baik, statistik sederhana di atas menggambarkan sebuah asset bangsa yang luar biasa berharga. Terlebih mereka 100% dimiliki oleh anak negeri. Bandingkan degan Lembaga keuangan lain, perbankan misalnya, yang  kepemilikan asetnya banyak yang tergadaikan ke Luar Negeri. Bahkan sebagian sudah menjadi milik asing.

Prestasi dan kontribusi Koperasi kita tidak terbilang banyaknya Bank Dunia mencatat, 73% anggota Koperasi pertama kali mendapatkan akses keuangan adalah dari Koperasi-nya. Sebelum Lembaga Keuangan (Bank dan LKBB) lain, Koperasi lah yang paling awal memberikan akses layanan keuangan kepada masyarakat kita.Koperasi juga mampu menjangkau penduduk yang tinggal di remote area.

Koperasi-Koperasi besar yang telah lahir, tumbuh, dan bertahan hingga saat ini merupakan monumen sejarah. Meneguhkan fakta teruji, bahwa Koperasi mampu mengelola-mengawasi dan mengendalikan dirinya sendiri untuk mampu bersaing. Tetap melayani anggotanya, tetap menghasilkan keuntungan. Sebuah pembelajaran dan bukti, bahwa Koperasi mampu bertumbuh (growth) dan berkelanjutan (sustain) dengan “TANPA” pengawasan EKSTERNAL yang signifikan.

Dalam Satu Keranjang Selalu Ada Apel yang Busuk

Perjalanan historis KSP memang tidak selalu mulus. Ibarat sekeranjang apel, selalu ada satu-dua yang berulat atau busuk. Oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menggunakan jubah koperasi untuk mengelabui awam. Tujuannya utamanya hanya satu, menarik keuntungan bagi dirinya sendiri. Jauh dari nilai dan prinsip koperasi.

Korban-korban berjatuhan. Dalam suatu laporan, 8 koperasi gagal bayar membukukan angka kerugian hingga Rp 26 triliun. Laporan OJK dalam 10 tahun terakhir, mencatatkan kerugian masyarakat mencapai Rp 117 triliun. Ini bukan nominal yang kecil, terlebih, tingkat kecenderungan Koperasi gagal menunjukkan tren bertambah dari waktu ke waktu dengan nilai kerugian masyarakat yang semakin menggunung.

Kasus demi kasus koperasi gagal yang menumpuk, proses penyelesaiannya sungguh sangat menguras energi. Baik bagi masyarakat yang menjadi korban, para pengawas dan pejabat (Dinas/Kementerian), juga bagi entitas gerakan koperasi yang tak lelah berikhtiar agar koperasi di negeri ini sehat dan berjatidiri.

Koperasi yang semakin lelah dengan urusan pengadilan, terkuras waktunya untuk menjadi saksi ahli dalam persidangan, semakin tak memiliki waktu untuk melakukan pembinaan. Kondisi semacam ini barangkali hanya dapat dirasakan oleh para korban koperasi gagal, para pejabat koperasi dan tentunya para tersangkanya yang notabene para pengurus dan pengawas koperasi.

Layak disyukuri, koperasi-koperasi yang baik tata-kelolanya juga tidak sedikit. Koperasi yang beroperasi melalui Self Regulatory yang mampu bertahan dan juga terus bertumbuh. Membuktikan bahwa Koperasi pada hakekatnya dimiliki, dimanfaatkan dan dikontrol oleh anggotanya sendiri secara baik dan konsisten.

Penulis sangat bisa memahami, di satu sisi ada kewajiban “mandatory” Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dan hadir dalam menjaga dan melindungi masyarakat dari suatu “penipuan” dan “penyalahgunaan kelembagaan” dari predator yang berjubah “koperasi”. Sisi lain, Pemerintah juga harus tetap hadir untuk terus mendorong agar “IKLIM PERKOPERASIAN” tetap kondusif dan dapat dipercaya oleh rakyat dan masyarakat anggotanya sendiri. Ini membutuhkan sebuah kebijakan yang fair, tetap berpihak pada rakyat dan berkeadilan untuk semua.

Lantas, apakah selama ini Pemerintah tidak hadir? Mari sejenak mencermati “kehadiran” pemerintah melalui regulasi yang dihasilkannya. Dalam Undang Undang Perkoperasian, misalnya, kita tidak mengenal istilah pengawasan kepada koperasi, yang ada hanyalah pembinaan. Sehingga, apabila pemerintah melakukan kegiatan pengawasan, sifatnya bukan mandatory UU tapi sekedar KEBIJAKAN. Konsekwensinya, ANGGARAN NEGARA tidak dapat menyentuh secara maksimal untuk memberikan penguatan terhadap FUNGSI PENGAWASAN oleh Pemerintah terhadap Koperasi kita. Pengawasan yang tidak optimal menjadi celah munculnya para predator, yang menggunakan jubah “KOPERASI”, merampok uang masyarakat. Hal yang sulit dihindari dan niscaya akan terus terjadi.

 

Isu Pengawasan dalam RUU PPSK

Regulasi yang masih absen dari misi mandatory dalam pengawasan, sangat mendesak untuk segera dibenahi. Tanpa dasar regulasi yang kokoh, penguatan terhadap KSP/USP tidak akan pernah terjadi dan berpotensi menambah deretan panjang korban-korban KSP gagal.

Penulis berpendapat UU Omnibus Law merupakan regulasi yang dapat meneguhkan negara untuk hadir dengan memberikan mandat kepada Pemerintah dalam melakukan pengawasan kepada KSP/USP kita.

Lalu pertanyaannya, fungsi pengawasan ini akan dijalankan oleh siapa?

Selama ini fungsi pengawasan dijalankan oleh Kemenkop UKM sesuai dengan kebijakan pemerintah. Namun, dalam perjalanan dan proses pengawasan yang terjadi, hasilnya dapat kita lihat sendiri, ternyata fungsi-fungsi fundamental pengawasan kurang berjalan sebagaimana mestinya. Penulis tidak perlu menjelaskan di mana sisi kelemahan dan kekurangannya, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa (1) pengawasan berjalan (tanpa) dukungan regulasi yang kuat, (2) SDM Pengawas belum terlatih dan kompeten, (3) teknologi pengawasan yang masih manual, dan (4) anggaran yang tidak memadai.

Sisi yang lain, KSP juga tidak sedikit yang memainkan peran pseudo keanggotaan. Situasi dimana KSP yang semestinya melayani hanya kepada anggotanya, yang dalam prakteknya juga melayani masyarakat umum. Inilah Faktor kunci sebenarnya yang menyebabkan koperasi gagal. Anggota tidak terlibat dalam pengendalian organisasi koperasinya. Pengelolaan dan pengambilan keputusan dilakukan hanya oleh segelintir orang “kunci” tanpa sepengetahuan dan persetujuan anggota. Sehingga dana yang jumlah tidak sedikit dapat dengan mudah dipindahkan ke entitas lain secara illegal. Seratus persen koperasi gagal akibat tindakan orang “kunci”. Tata-kelola yang lemah menjerumuskan koperasi kepada BANKRUPT. Bandingkan dengan koperasi-koperasi yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip perkoperasiannya, yang sangat jarang bahkan tidak ada yang GAGAL.

Pertanyaan berikutnya, siapakan yang memiliki kewenangan melakukan pemantauan dan pengawasan yang powerfull terhadap penyimpangan prinsip-prinsip koperasi? Lalu, apakah dengan adanya kelemahan dan kekurangan yang ada di Kementerian Koperasi dan UKM lantas menegasikan fungsi pengawasan koperasi ke depan?

Ini sebuah fenomena menarik. Satu sisi Koperasi merupakan Lembaga yang memiliki distingsi dan perlu perlakuan khusus karena dimiliki-dimanfaatkan dan dikendalikan oleh anggotanya sendiri. Serta bertanggung jawab secara mandiri baik risiko maupun return yang diperolehnya untuk kesejahteraan para anggotanya sendiri.

Semestinya, pengawasan dilakukan oleh organisasi yang dibentuk oleh koperasi-nya sendiri secara mandiri. Jika pun ada intervensi Pemerintah maka dilakukan oleh Kementerian yang membidangi Perkoperasian.

Di sisi lain, ketidakberdayaan Pemerintah dalam mengendalikan Koperasi (KSP/USP), memerlukan perhatian khusus dan mendesak. Dibutuhkan mitigasi yang bersifat segera agar kasus-kasus koperasi gagal dapat diantisipasi lebih dini.

Situasi saat ini, ibarat perahu yang sudah melaju dan layar sudah terkembang, namun tiada Kompas dan peta yang memandu perahu hendak menuju ke mana..

 

Pengawasan KSP/USP : Antara OJK, OPEK, dan Menimbang “Jalan Tengah”

Terakhir, topik pengawasan koperasi semakin menghangat dengan masuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke ranah pengawasan koperasi. Penulis memprediksi, hal ini akan menjadi suatu perdebatan tersendiri.

Saat ini, penulis menjadi salah satu tim perumus RUU Perkoperasian. Penulis berharap Pemerintah memiliki Otoritas Pengawas Koperasi (OPEK), pemikiran ini juga menjadi jamak bagi perumus lainnya. Dalam konsep Otoritas Pengawas Koperasi (OPEK), pemerintah semestinya memiliki Lembaga yang berfungsi melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP/USP). Melalui Lembaga ini pemerintah dapat mendesain pengaturan dan pengawasan sesuai dengan karakter dan jati diri koperasi.

Proses politik RUU Perkoperasian memang masih harus melewati perjalanan yang cukup panjang. Di sisi lain, RUU P2SK yang mengambil bagian pengawasan KSP/USP menjadi salah satu pasal yang sangat krusial. Jeda waktu tunggu RUU Perkoperasian masih belum jelas, namun pengawasan KSP/USP sudah sangat mendesak jika tidak dikatakan terlambat. Akankah OJK mengambil peran fungsi pengawasan ini terhadap KSP/USP?

Perdebatan panjang mengemuka di berbagai media massa. Juga bisa disimak di grup-grup medsos. Penulis tidak perlu mengulas kembali di sini. Di antara perdebatan itu, penulis berpendapat ada jalan tengah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah saat ini, yaitu:

Pertama: Sebaiknya diupayakan semaksimal mungkin pengawasan koperasi di atur oleh UU Perkoperasian dengan memandatkan Lembaga Independen Pengawasan Koperasi dalam pengawasan eksternal KSP/USP.

Kedua:  Jika pengawasan tetap dimasukkan dalam RUU P2SK dan memandatkan pengawasan koperasi kepada OJK, maka OJK perlu membentuk tim di luar struktur yang saat ini ada (tidak masuk dalam Direktorat Pengawasan Bank dan tidak masuk juga dalam IKNB). OJK juga harus membentuk Direktorat sendiri yang memahami karakter dan prinsip-prinsip Koperasi serta instrumen pengawasan yang dilakukan disesuaikan dengan standar perkoperasian. Tidak semua KSP/USP masuk dalam pengawasan OJK, atau hanya Koperasi skala menengah besar (KUK III dan KUK IV) saja yang masuk dalam pengawasan OJK.

Ketiga:  Koperasi diklasifikasikan ke dalam dua model besar yaitu (1) CLOSE LOOP, dan (2) OPEN LOOP. Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha dan operasionalnya berbasis pada close loop berada dalam pengawasan Kemenkop UKM, sedangkan KSP/USP yang menjalankan kegiatan usahanya dalam kategori OPEN LOOP, maka masuk dalam pengawasan OJK.

Penulis melihat arah kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah dan DPR sedang menuju pada peran OJK untuk mengambil fungsi pengawasan KSP/USP. Perlu diperhatikan, bahwa pengawasan kepada koperasi MUSTAHIL dilakukan jika berbasis pada ONE FIT FOR ALL, satu model aturan digunakan untuk seluruh model bisnis KSP/USP. 

Bagaimana mungkin menyamakan penilaian untuk Koperasi berbasis tanggung renteng yang tidak ada agunan fisik dengan model bisnis kuasi bank yang berbasis kolateral, misalnya. Contoh sederhana, adalah penghitungan kualitas aktiva produktif di perbankan. Ketika ada kredit tanpa agunan maka Bank harus mencadangkan risiko sejumlah total pinjamannya. Jika itu diterapkan pada KSP berbasis tanggung renteng maka akan habis dana tunai-nya karena digunakan untuk pencadangan (PPAP-nya). Ini baru satu parameter indicator penilaian Kesehatan, belum indikator lainnya.  Inilah tantangan besar yang harus di hadapi oleh Gerakan Koperasi sekaligus OJK ke depan.

Lebih lanjut, Ketika pengawasan dilakukan oleh OJK, apakah KSP/USP akan mendapatkan layanan ekosistem yang sama dalam mendukung mitigasi risiko kelembagaan dan proteksi terhadap nasabahnya (anggotanya)? Sebut saja akses terhadap biro kredit, akses terhadap LPS, akses terhadap penjaminan dan seterusnya.  Kita akan lihat bagaimana Pemerintah akan membela golongan yang lemah dan menerapkan keadilan bagi para pelaku usaha di negeri ini. Semoga Pemerintah dan Wakil Rakyat, khususnya Komisi XI DPR RI, mempertimbangkan hal ini. (*/pr)

Kategori
WACANA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar